Senin, 01 Oktober 2012

Pemerolehan Bahasa Pertama

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pemerolehan bahasa pertama merupakan dimana manusia pertama kali mempelajari bahasa ibu. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa. Pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa kedua. Namun banyak juga yang menggunakan istilah pemerolehan bahasa untuk bahasa kedua.
Ada dua proses yang terjadi ketika seorang anak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi menjadi syarat untuk terjadinya proses performansi yang terdiri dari dua proses, yakni proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses penghasilan kalimat-kalimat. Sedangkan penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat-kalimat sendiri. Kedua jenis kompetensi ini apabila telah dikuasai akan menjadi kemampuan linguistik terdiri dari kemampuan memahami dan kemampuan melahirkan atau menerbitkan kalimat-kalimat baru yang dalam linguistik transformasi generatif disebut perlakuan atau pelaksanaan bahasa.
Sejalan dengan teori Chomsky, kompetensi itu mencakup tiga buah komponen tata bahasa, yaitu komponen sintaksis, komponen semantik dan komponen fonologi. Pemerolehan bahasa lazim juga dibagi menjadi pemerolehan semantik, pemerolehan sintaksis dan pemerolehan fonologi. Dalam pemerolehan  sintaksis dan semantik juga pemerolehan leksikon atau kosakata. Ketiga komponen bahasa tidaklah diperoleh secara bersaingan, yang satu terlepas dari yang lain, melainkan diperoleh secara bersamaan.

BAB II
PEMBAHASAN


1.        Proses Pemerolehan Bahasa Pertama
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167).
Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara tidak disadari. Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki performansi dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Chaer 2003:167).
Selanjutnya, Chomsky juga beranggapan bahwa pemakai bahasa mengerti struktur dari bahasanya yang membuat dia dapat mengkreasi kalimat-kalimat baru yang tidak terhitung jumlahnya dan membuat dia mengerti kalimat-kalimat tersebut. Jadi, kompetensi adalah pengetahuan intuitif yang dipunyai seorang individu mengenai bahasa ibunya (native languange). Intuisi linguistik ini tidak begitu saja ada, tetapi dikembangkan pada anak sejalan dengan pertumbuhannya, sedangkan performansi adalah sesuatu yang dihasilkan oleh kompetensi.
Hal yang patut dipertanyakan adalah bagaimana strategi si anak dalam memperoleh bahasa pertamanya dan apakah setiap anak memiliki strategi yang sama dalam memperoleh bahsa pertamanya? Berkaitan dengan hal ini, Dardjowidjojo, (2005:243-244) menyebutkan bahwa pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan bahwa anak di mana pun juga memperoleh bahasa pertamanya dengan memakai strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Di samping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini. Chomsky mengibaratkan anak sebagai entitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik: mana yang dipencet, itulah yang akan menyebabkan bola lampu tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan wujudnya seperti apa ditentukan oleh input sekitarnya.

2.      Tahap-tahap Pemerolehan Bahasa Pertama
Perlu untuk diketahui adalah seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa B1 dalam otaknya dan lengkap dengan semua kaidahnya. B1 diperolehnya dalam beberapa tahap dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa dari bahasa orang dewasa. Menurut para ahli, tahap-tahap ini sedikit banyaknya ada ciri kesemestaan dalam berbagai bahasa di dunia.
Pengetahuan mengenai pemerolehan bahasa dan tahapnya yang paling pertama di dapat dari buku-buku harian yang disimpan oleh orang tua yang juga peneliti ilmu psikolinguistik. Dalam studi-studi yang lebih mutakhir, pengetahuan ini diperoleh melalui rekaman-rekaman dalam pita rekaman, rekaman video, dan eksperimen-eksperimen yang direncanakan. Ada sementara ahli bahasa yang membagi tahap pemerolehan bahasa ke dalam tahap pralinguistik dan linguistik. Akan tetapi, pendirian ini disanggah oleh banyak orang yang berkata bahwa tahap pralinguistik itu tidak dapat dianggap bahasa yang permulaan karena bunyi-bunyi seperti tangisan dan rengekan dikendalikan oleh rangsangan (stimulus) semata-mata, yaitu respons otomatis anak pada rangsangan lapar, sakit, keinginan untuk digendong, dan perasaan senang. Oleh karena itu, tahap-tahap pemerolehan bahasa yang dibahas dalam makalah ini adalah tahap linguistik yang terdiri atas beberapa tahap, yaitu (1) tahap pengocehan (babbling); (2) tahap satu kata (holofrastis); (3) tahap dua kata; (4) tahap menyerupai telegram (telegraphic speech).
1.1.       Vokalisasi Bunyi
Pada umur sekitar 6 minggu, bayi mulai mengeluarkan bunyi-bunyi dalam bentuk teriakan, rengekan, dekur. Bunyi yang dikeluarkan oleh bayi mirip dengan bunyi konsonan atau vokal. Akan tetapi, bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena memang belum terdengar dengan jelas. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah bunyi-bunyi yang dihasilkan tadi merupakan bahasa? Fromkin dan Rodman (1993:395) menyebutkan bahwa bunyi tersebut tidak dapat dianggap sebagai bahasa. Sebagian ahli menyebutkan bahwa bunyi yang dihasilkan oleh bayi ini adalah bunyi-bunyi prabahasa/dekur/vokalisasi bahasa/tahap cooing.
Setelah tahap vokalisasi, bayi mulai mengoceh (babling). Celoteh merupakan ujaran yang memiliki suku kata tunggal seperti mu dan da. Adapun umur si bayi mengoceh tak dapat ditentukan dengan pasti. Mar’at (2005:43) menyebutkan bahwa tahap ocehan ini terjadi pada usia antara 5 dan 6 bulan. Dardjowidjojo (2005: 244) menyebutkan bahwa tahap celoteh terjadi sekitar umur 6 bulan. Tidak hanya itu. ada juga sebagian ahli menyebutkan bahwa celoteh terjadi pada umur 8 sampai dengan 10 bulan. Perbedaan pendapat seperti ini dapat saja. Yang perlu diingat bahwa kemampuan anak berceloteh tergantung pada perkembangan neurologi seorang anak.
Pada tahap celoteh ini, anak sudah menghasilkan vokal dan konsonan yang berbeda seperti frikatif dan nasal. Mereka juga mulai mencampur konsonan dengan vokal. Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti dengan vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. dengan demikian, strukturnya adalah K-V. Ciri lain dari celotehan adalah pada usia sekitar 8 bulan, stuktur silabel K-V ini kemudian diulang sehingga muncullah struktur seperti:
K1 V1 K1 V1 K1 V1…papapa mamama bababa…
Orang tua mengaitkan kata papa dengan ayah dan mama dengan ibu meskipun apa yang ada di benak tidaklah kita ketahui. Tidak mustahil celotehan itu hanyalah sekedar artikulatori belaka (Djardjowidjojo, 2005:245).
Begitu anak melewati periode mengoceh, mereka mulai menguasai segmen-segmen fonetik yang merupakan balok bangunan yang dipergunakan untuk mengucapkan perkataan. Mereka belajar bagaimana mengucapkan sequence of segmen, yaitu silabe-silabe dan kata-kata. Cara anak-anak mencoba menguasai segmen fonetik ini adalah dengan menggunakan teori hypothesis-testing (Clark & Clark dalam Mar’at 2005:43). Menurut teori ini anak-anak menguji coba berbagai hipotesis tentang bagaimana mencoba memproduksi bunyi yang benar.
Pada tahap-tahap permulaan pemerolehan bahasa, biasanya anak-anak memproduksi perkataan orang dewasa yang disederhanakan sebagai berikut:
(1)      Menghilangkan konsonan akhir
blumen bu
boot bu
(2)      Mengurangi kelompok konsonan menjadi segmen tunggal:
batre bate
bring bin
(3)      Menghilangkan silabel yang tidak diberi tekanan
kunci ti
semut emut

(4)      Reduplikasi silabel yang sederhana
pergi gigi
nakal kakal
Menurut beberapa hipotesis, penyederhanaan ini disebabkan oleh memory span yang terbatas, kemampuan representasi yang terbatas, kepandaian artikulasi yang terbatas (Mar’at 2005:46-47).
Apakah tahap celoteh ini penting bagi si anak. Jawabannya tentu saja penting. Tahap celoteh ini penting artinya karena anak mulai belajar menggunakan bunyi-bunyi ujaran yang benar dan membuang bunyi ujaran yang salah. Dalam tahap ini anak mulai menirukan pola-pola intonasi kalimat yang diucapkan oleh orang dewasa.
1.2.       Tahap Satu-Kata atau Holofrastis
Tahap ini berlangsung ketika anak berusia antara 12 dan 18 bulan. Ujaran-ujaran yang mengandung kata-kata tunggal diucapkan anak untuk mengacu pada benda-benda yang dijumpai sehari-hari. Pada tahap ini pula seorang anak mulai menggunakan serangkaian bunyi berulang-ulang untuk makna yang sama. pada usia ini pula, sang anak sudah mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna dan mulai mengucapkan kata-kata yang pertama. Itulah sebabnya tahap ini disebut tahap satu kata satu frase atau kalimat, yang berarti bahwa satu kata yang diucapkan anak itu merupakan satu konsep yang lengkap, misalnya “mam” (Saya minta makan); “pa” (Saya mau papa ada di sini), “Ma” (Saya mau mama ada di sini).
Mula-mula, kata-kata itu diucapkan anak itu kalau rangsangan ada di situ, tetapi sesudah lebih dari satu tahun, “pa” berarti juga “Di mana papa?” dan “Ma” dapat juga berarti “Gambar seorang wanita di majalah itu adalah mama”.
Menurut pendapat beberapa peneliti bahasa anak, kata-kata dalam tahap ini mempunyai tiga fungsi, yaitu kata-kata itu dihubungkan dengan perilaku anak itu sendiri atau suatu keinginan untuk suatu perilaku, untuk mengungkapkan suatu perasaan, untuk memberi nama kepada suatu benda. Dalam bentuknya, kata-kata yang diucapkan itu terdiri dari konsonan-konsonan yang mudah dilafalkan seperti m,p,s,k dan vokal-vokal seperti a,i,u,e.
1.3.       Tahap Dua-Kata, Satu Frase
Tahap ini berlangsung ketika anak berusia 18-20 bulan. Ujaran-ujaran yang terdiri atas dua kata mulai muncul seperti mama mam dan papa ikut. Kalau pada tahap holofrastis ujaran yang diucapkan si anak belum tentu dapat ditentukan makna, pada tahap dua kata ini, ujaran si anak harus ditafsirkan sesuai dengan konteksnya. Pada tahap ini pula anak sudah mulai berpikir secara “subjek + predikat” meskipun hubungan-hubungan seperti infleksi, kata ganti orang dan jamak belum dapat digunakan. Dalam pikiran anak itu, subjek + predikat dapat terdiri atas kata benda + kata benda, seperti “Ani mainan” yang berarti “Ani sedang bermain dengan mainan” atau kata sifat + kata benda, seperti “kotor patu” yang artinya “Sepatu ini kotor” dan sebagainya.
1.4.       Ujaran Telegrafis
Pada usia 2 dan 3 tahun, anak mulai menghasilkan ujaran kata-ganda (multiple-word utterances) atau disebut juga ujaran telegrafis. Anak juga sudah mampu membentuk kalimat dan mengurutkan bentuk-bentuk itu dengan benar. Kosakata anak berkembang dengan pesat mencapai beratus-ratus kata dan cara pengucapan kata-kata semakin mirip dengan bahasa orang dewasa. Contoh dalam tahap ini diberikan oleh Fromkin dan Rodman.
“Cat stand up table” (Kucing berdiri di atas meja);
What that?” (Apa itu?);
He play little tune” (dia memainkan lagu pendek);
Andrew want that” (Saya, yang bernama Andrew, menginginkan itu);
No sit here” (Jangan duduk di sini!)
Pada usia dini dan seterusnya, seorang anak belajar B1-nya secara bertahap dengan caranya sendiri. Ada teori yang mengatakan bahwa seorang anak dari usia dini belajar bahasa dengan cara menirukan. Namun, Fromkin dan Rodman (1993:403) menyebutkan hasil peniruan yang dilakukan oleh si anak tidak akan sama seperti yang diinginkan oleh orang dewasa. Jika orang dewasa meminta sang anak untuk menyebutkan “He’s going out”, si anak akan melafalkan dengan “He go out”. Ada lagi teori yang mengatakan bahwa seorang anak belajar dengan cara penguatan (reinforcement), artinya kalau seorang anak belajar ujaran-ujaran yang benar, ia mendapat penguatan dalam bentuk pujian, misalnya bagus, pandai, dsb. Akan tetapi, jika ujaran-ujarannya salah, ia mendapat “penguatan negatif”, misalnya lagi, salah, tidak baik. Pandangan ini berasumsi bahwa anak itu harus terus menerus diperbaiki bahasanya kalau salah dan dipuji jika ujarannya itu benar.
Teori ini tampaknya belum dapat diterima seratus persen oleh para ahli psikologi dan ahli psikolinguistik. Yang benar ialah seorang anak membentuk aturan-aturan dan menyusun tata bahasa sendiri. Tidak semua anak menunjukkan kemajuan-kemajuan yang sama meskipun semuanya menunjukkan kemajuan-kemajuan yang reguler.
Selain tahap pemerolehan bahasa yang disebutkan di atas, ada juga para ahli bahasa seperti Aitchison mengemukakan beberapa tahap pemerolehan bahasa anak.


Tahap 1: Mendengkur
Tahap ini mulai berlangsung pada anak usia sekitar enam minggu. Bunyi yang dihasilkan mirip dengan vokal tetapi tidak sama dengan bunyi vokal orang dewasa.
Tahap 2: Meraban
Tahap ini berlangsung ketika usia anak mendekati enam bulan. Tahap meraban merupakan pelatihan bagi alat-alat ucap. Vokal dan konsonan dihasilkan secara serentak.
Tahap 3: Pola intonasi
Anak mulai menirukan pola-pola intonasi. Tuturan yang dihasilkan mirip dengan yang diucapkan ibunya.
Tahap 4: Tuturan satu kata
Pada umur satu tahun sampai delapan belas bulan anak mulai mengucapkan tuturan satu kata. Pada usia ini anak memperoleh sekitar lima belas kata meliputi nama orang, binatang, dan lain-lain.
Tahap 5: Tuturan dua kata
Umumnya pada usia dua setengah tahun anak sudah menguasai beberapa ratus kata. Tuturan hanya terdiri atas dua kata.
Tahap 6: Infleksi kata
Kata-kata yang dianggap remeh dan infleksi mulai digunakan. Dalam bahasa Indonesia yang tidak mengenal istilah infleksi, mungkin berwujud pemerolehan bentuk-bentuk derivasi, misalnya kata kerja yang mengandung awalan atau akhiran.
Tahap 7: Bentuk tanya dan bentuk ingkar
Anak mulai memperoleh kalimat tanya dengan kata tanya seperti apa, siapa, kapan, dan sebagainya. Di samping itu anak juga sudah mengenal bentuk ingkar.
Tahap 8: Konstruksi yang jarang atau kompleks
Anak sudah mulai berusaha menafsirkan meskipun penafsirannya dilakukan secara keliru. Anak juga memperoleh kalimat dengan struktur yang rumit, seperti pemerolehan kalimat majemuk.
Tahap 9: Tuturan yang matang
Pada tahap ini anak sudah dapat menghasilkan kalimat-kalimat seperti orang dewasa.

2.      Proses Perkembangan Bahasa Anak
1.    Fonologi
Anak menggunakan bunyi-bunyi yang telah dipelajarinya dengan bunyi-bunyi yang belum dipelajari, misalnya menggantikan bunyi /l/ yang sudah dipelajari dengan bunyi /r/ yang belum dipelajari. Pada akhir periode berceloteh, anak sudah mampu mengendalikan intonasi, modulasi nada, dan kontur bahasa yang dipelajarinya.
2.    Morfologi
Pada usia 3 tahun anak sudah membentuk beberapa morfem yang menunjukkan fungsi gramatikal nomina dan verba yang digunakan. Kesalahan gramatika sering terjadi pada tahap ini karena anak masih berusaha mengatakan apa yang ingin dia sampaikan. Anak terus memperbaiki bahasanya sampai usia sepuluh tahun.
3.    Sintaksis
Alamsyah (2007:21) menyebutkan bahwa anak-anak mengembangkan tingkat gramatikal kalimat yang dihasilkan melalui beberapa tahap, yaitu melalui peniruan, melalui penggolongan morfem, dan melalui penyusunan dengan cara menempatkan kata-kata secara bersama-sama untuk membentuk kalimat.
4.    Semantik
Anak menggunakan kata-kata tertentu berdasarkan kesamaan gerak, ukuran, dan bentuk. Misalnya, anak sudah mengetahui makna kata jam. Awalnya anak hanya mengacu pada jam tangan orang tuanya, namun kemudian dia memakai kata tersebut untuk semua jenis jam.

3.      Teori-Teori Tentang Pemerolehan Bahasa Pertama
3.1.         Teori Behaviorisme
Teori behaviorisme menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response). Perilaku bahasa yang efektif adalah membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan jika reaksi tersebut dibenarkan. Dengan demikian, anak belajar bahasa pertamanya.
Sebagai contoh, seorang anak mengucapkan bilangkali untuk barangkali. Sudah pasti si anak akan dikritik oleh ibunya atau siapa saja yang mendengar kata tersebut. Apabila sutu ketika si anak mengucapkan barangkali dengan tepat, dia tidak mendapat kritikan karena pengucapannya sudah benar. Situasi seperti inilah yang dinamakan membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan dan merupakan hal yang pokok bagi pemerolehan bahasa pertama.
B.F. Skinner adalah tokoh aliran behaviorisme. Dia menulis buku Verbal Behavior (1957) yang digunakan sebagai rujukan bagi pengikut aliran ini. Menurut aliran ini, belajar merupakan hasil faktor eksternal yang dikenakan kepada suatu organisme. Menurut Skinner, perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak menguntungkan, perilaku itu akan ditinggalkan. Singkatnya, apabila ada reinforcement yang cocok, perilaku akan berubah dan inilah yang disebut belajar.
Namun demikian, banyak kritikan terhadap aliran ini. Chomsky mengatakan bahwa toeri yang berlandaskan conditioning dan reinforcement tidak bisa menjelaskan kalimat-kalimat baru yang diucapkan untuk pertama kali dan inilah yang kita kerjakan tiap hari. Bower dan Hilgard juga menentang aliran ini dengan mengatakan bahwa penelitian mutakhir tidak mendukung aliran ini.
Aliran behaviorisme mengatakan bahwa semua ilmu dapat disederhanakan menjadi hubungan stimulus-response. Hal tersebut tidaklah benar karena tidak semua perilaku berasal dari stimulus-response.
3.2.         Teori Nativisme
Chomsky merupakan penganut nativisme. Menurutnya, bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia, binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia. Pendapat Chomsky didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik), setiap bahasa memiliki pola perkembangan yang sama (merupakan sesuatu yang universal), dan lingkungan memiliki peran kecil di dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu yang relatif singkat. Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak dapat menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa.
Menurut aliran ini, bahasa adalah sesuatu yang kompleks dan rumit sehingga mustahil dapat dikuasai dalam waktu yang singkat melalui “peniruan”. Nativisme juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat untuk memperoleh bahasa (language acquisition device, disingkat LAD). Mengenai bahasa apa yang akan diperoleh anak bergantung pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan di lingkungan Amerika sudah pasti bahasa Inggris menjadi bahasa pertamanya.
Semua anak yang normal dapat belajar bahasa apa saja yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Apabila diasingkan sejak lahir, anak ini tidak memperoleh bahasa. Dengan kata lain, LAD tidak mendapat “makanan” sebagaimana biasanya sehingga alat ini tidak bisa mendapat bahasa pertama sebagaimana lazimnya seperti anak yang dipelihara oleh srigala (Baradja, 1990:33).
Tanpa LAD, tidak mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan bisa menguasai sistem bahasa yang rumit. LAD juga memungkinkan seorang anak dapat membedakan bunyi bahasa dan bukan bunyi bahasa.

3.3.         Teori Kognitivisme
Menurut teori ini, bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa (Chaer, 2003:223). Hal ini tentu saja berbeda dengan pendapat Chomsky yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas. Begitu juga dengan lingkungan berbahasa. Bahasa harus diperoleh secara alamiah.
Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa. Dari lahir sampai 18 bulan, bahasa dianggap belum ada. Anak hanya memahami dunia melalui indranya. Anak hanya mengenal benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak sudah dapat mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai menggunakan simbol untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir dihadapannya. Simbol ini kemudian berkembang menjadi kata-kata awal yang diucapkan anak.
3.4.         Teori Interaksionisme
Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pembelajaran dan lingkungan bahasa. Pemerolehan bahasa itu berhubungan dengan adanya interaksi antara masukan “input” dan kemampuan internal yang dimiliki pembelajar. Setiap anak sudah memiliki LAD sejak lahir. Namun, tanpa ada masukan yang sesuai tidak mungkin anak dapat menguasai bahasa tertentu secara otomatis.
Sebenarnya, menurut hemat penulis, faktor intern dan ekstern dalam pemerolehan bahasa pertama oleh sang anak sangat mempengaruhi. Benar jika ada teori yang mengatakan bahwa kemampuan berbahasa si anak telah ada sejak lahir (telah ada LAD). Hal ini telah dibuktikan oleh berbagai penemuan seperti yang telah dilakukan oleh Howard Gardner. Dia mengatakan bahwa sejak lahir anak telah dibekali berbagai kecerdasan. Salah satu kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan berbahasa (Campbel, dkk., 2006: 2-3). Akan tetapi, yang tidak dapat dilupakan adalah lingkungan juga faktor yang memperngaruhi kemampuan berbahasa si anak. Banyak penemuan yang telah membuktikan hal ini.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pemerolehan bahasa pertama adalah proses penguasaan bahasa pertama oleh si anak. Selama penguasaan bahasa pertama ini, terdapat dua proses yang terlibat, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini tentu saja diperoleh oleh anak secara tidak sadar.
Ada beberapa tahap yang dilalui oleh sang anak selama memperoleh bahasa pertama. Tahap yang dimaksud adalah vokalisasi bunyi, tahap satu-kata atau holofrastis, tahap dua-kata, tahap dua-kata, ujaran telegrafis. Selain tahap pemerolehan bahsa seperti yang telah disebutkan ini, ada juga para ahli bahasa, seperti Aitchison mengemukakan beberapa tahap pemerolehan bahasa anak. Tahap-tahap yang dia maksud adalah mendengkur, meraban, pola intonasi, tuturan satu kata, tuturan dua kata, infleksi kata, bentuk tanya dan bentuk ingkar, konstruksi yang jarang atau kompleks, tuturan yang matang. Meskipun terjadi perbedaan dalam hal pembagian tahap-tahap yang dilalui oleh anak saat memperoleh bahasa pertamanya, jika dilihat secara cermat, pembahasan dalam setiap tahap pemerolehan bahasa pertama anak memiliki kesamaan, yaitu adanya proses fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik.
Bagaimana sebenarnya proses pemerolehan bahasa pertama ini? Ada beberapa teori pemerolehan bahasa yang menjelaskan hal ini, yaitu teori behaviorisme, nativisme, kognitivisme, interaksionisme. Keempat teori ini memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menjelaskan perihal cara anak memperoleh bahasa pertamanya.

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Teuku. 1997. Pemerolehan Bahasa Kedua (Second Language Acqusition). Diktat Kuliah Program S-2. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.
Baradja, M.F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa. Malang: IKIP
Campbel, dkk. 2006. Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences. Depok: Intuisi Press.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik:Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor.
Fromkin Victoria dan Robert Rodman. 1993. An Introduction to Language. Florida: Harcourt Brace Jovanovich Collage.
Mahmud, Saifuddin dan Sa’adiah. 1997. Teori Pembelajaran Bahasa: Materi Kuliah Program Setara D-3. Banda Aceh: FKIP Unsyiah.
Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama.

Minggu, 30 September 2012

Kajian Puisi

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pencipta sastra dalam menyusun karya sastra tidak asal jadi, tetapi benar-benar dikerjakan dengan maksimal. Mengingat karya sastra yang dibuatnya bukan untuk dirinya, tetapi untuk masyarakat sebagai penikmat sebuah karya sastra. Sebagaimana pepatahnya seni bukan untuk seni, tetapi untuk masyarakat. Dalam hal ini sastra menjadi pokok utama dalam memberikan kenikmatan kepada masyarakat lebih mengenali apa arti sebuah sastra yang dijadikan sebagai inspirasi dalam kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, sastra dalam perkembangannya melalui berbagai tahap untuk mencapai sebuah karya sastra yang bermutu dan berimajinatif maupun non imajinatif sebagai seni budaya yang tidak dilupakan dan harus dilestarikan.

B.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah teori sastra. Selain itu juga bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dan pembaca dengan memberi informasi tentang sastra dan perkembangannya di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sastra
Sastra adalah seni bahasa. Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam. Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa. Dimaksud dengan pikiran disini adalah pandangan, ide-ide, perasaan, pemikiran, dan semua kegiatan mental manusia. Sastra adalah inspirasi yang diekspresikan dalam sebuah bentuk keindahan. Sastra juga adalah semua buku yang memuat perasaan manusia yang mendalam dan kebenaran moral dengan sentuhan kesucian, keleluasaan, pandangan, dan membentuk yang mempesona.
Batasan yang lainnya sastra adalah merupakan pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manivestasi kehidupan manusia dan masyarakat melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia atau kemanusiaan.
Sastra adalah hasil kehidupan jiwa yang terjelma dalam tulisan atau bahasa tulis yang menggambarkan atau mencerminkan peristiwa kehidupan masyarakat atau anggota-anggota masyarakat itu.
Sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia dalam mengungkapkan penghayatan dengan menggunakan bahasa.
Sastra adalah rekaman penting hal-hal yang pernah dilihat, dihayati, dipikirkan dan dirasakan pengarangnya dalam kehidupan.
Dari ungkapan diatas batasan sastra sampai kini belum ada yang klop. Tentu hal itu ada penyebabnya. Batasan sastra sulit di buat atau didefinisikan penyebabnya sebagai berikut :
·      Sastra bukan ilmu, sastra adalah seni. Dalam seni banyak unsur kemanusiaan yang masuk ke dalamnya, khususnya perasaan, karena terlalu dominan kedudukan perasaan itu, maka sangat sulit diterapkan untuk metode ilmu.
·      Sebuah batasan selalu berusaha mengungkapkan hakikat sebuah sasaran, hakikat itu sifatnya universal dan abadi. Bisa dikatakan, sastra tergantung tempat dan waktu.
·      Sebuah batasan sastra sulit menjangkau hakikat dari semua jenis sastra. Mungkin batasan itu cocok untuk puisi, belum tentu cocok untuk novel, atau sebaliknya.
·      Batasan tentang sastra biasanya tidak hanya berhenti pada pembuat pemberian saja, tetapi juga suatu usaha penilaian. Disinilah letaknya batasan sastra itu selalu mengacu kepada apa yang disebut karya sastra yang baik untuk suatu zaman dan tempat.
Pengertian sastra menurut para ahli antara lain :
1.      Sumarno dan Saini, sastra adalah ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan, semangat, keyakinan, dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat-alat bahasa.
2.      Mursal Esten, menyatakan sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).
3.    Menurut Engleton, sastra yang disebutnya "karya tulisan yang halus" (belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa. harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan dan diterbalikkan, dijadikan ganjil.
4.    Ahmad Badrun, berpendapat bahwa Kesusastraan adalah kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol- simbol lain sebagai alai, dan bersifat imajinatif.
5.    Menurut Semi, sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya
6.    Panuti Sudjiman, mendefinisikan sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapannya.
7.    Menurut Sumardjo dan Sumaini, definisi sastra yaitu :
-            Sastra adalah seni bahasa.
-            Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam.
-            Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa.
-            Sastra adalah inspirasi kehidupan yang dimateraikan dalam sebuah bentuk keindahan.
-            Sastra adalah semua buku yang memuat perasaan kemanusiaan yang benar dan kebenaran moral dengan sentuhan kesucian, keluasan pandangan dan bentuk yang mempesona.
8.    Suyitno, Sastra adalah sesuatu yang imajinatif, fiktif dan inventif juga harus melayani misi-misi yang dapat dipertanggungjawabkan.
9.    Tarigan, sastra adalah merupakan obyek bagi pengarang dalam mengungkapkan gejolak emosinya, misalnya perasaan sedih, kecewa, senang dan lain sebagainya.
10.  Damono, mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.

B.    Ciri-Ciri Sastra
§      Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan sebuah imitasi, sastra merupakan suatu luapan yang spontan.
§      Sastra bersifat otonom yang artinya tidak mengacu kepada sesuatu yang lain dan sastra tidak bersifat komunikatif.
§      Karya sastra yang otonom itu bercirikan suatu koherensi. Koherensi artinya suatu keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi.
§      Sastra menghidangkan sebuah sintesis antara hal-hal yang saling bertentangan, bertentangan itu aneka ragam bentuknya.
§      Sastra mengungkapkan yang tidak terungkap oleh bahasa sehari-hari.

C.    Fungsi Karya Sastra
v   Karya sastra itu bisa memberikan kesadaran kepada para pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup.
v   Karya sastra bisa memberikan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang manusia, dunia dan kehidupan.
v   Karya sastra bisa memberikan kegembiraan dan kepuasan batin. Hiburan yang dilontarkan karya sastra itu merupakan hiburan intelektual spiritual.
v   Karya sastra itu bisa memuat kebenaran-kebenaran hakiki.
v   Karya sastra jangan mengenal batasan kebangsaan.
v   Karya sastra harus bisa memenuhi kebutuhan manusia terhadap naluri keindahan.
v   Karya sastra harus bisa memberikan penghayatan yang mendalam.
v   Karya sastra harus bisa membudayakan manusia.

D.    Karya Sastra Bermutu
ü   Harus berupa rekaman isi jiwa si pengarang.
ü   Harus komunikatif, artinya bisa dimengerti oleh orang banyak tidak hanya dimengerti oleh orang tertentu saja atau hanya dimengerti oleh si pengarang.
ü   Harus berpola atau berbentuk teratur. Artinya bentuk atau polanya itu berstruktur, jalan pikiran yang dilontarkan si pengarang bisa dipahami dan bisa dimengerti si penikmat sastra.
ü   Harus bisa menghibur. Karya sastra yang baik harus bisa menghibur para penikmat sastra.
ü   Seluruh unsur harus menyatu. Karya sastra baik seluruh unsurnya harus menunjukan kesatuan dari isi, bentuk, bahasa dan ekspresi pribadi pengarangnya harus benar-benar serasi satu sama lainnya.

E.     Jenis Sastra
1)   Sastra Imajinatif
Sastra imajinatif adalah karya-karya yang amat tipis berhubungan dengan fakta atau realita kehidupan. Karya sastra imajinatif lebih bertugas untuk menerangkan, menjelaskan, memahami, membuka pandangan baru, memberikan makna kepada realitas kehidupan atau dengan kata lain sastra imajinatif menyempurnakan realitas agar manusia lebih mengerti dan bersikap yang semestinya terhadap realitas kehidupan. Sastra imajinatif antara lain puisi dan prosa.
a.    Puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi. Ditinjau dari bentuk dan isinya ragam puisi terbagi menjadi beberapa macam yaitu :
-       Puisi epik, adalah suatu puisi yang didalamnya mengandung cerita kepahlawanan, baik kepahlawanan yang berhubungan dengan legenda, kepercayaan, maupun sejarah.
-       Puisi naratif, adalah puisi yang didalamnya mengandung suatu cerita dan pelaku, perwatakan, setting, maupun rangkaian peristiwa tertentu yang menjalin suatu cerita.
-       Puisi lirik, adalah puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala macam endapan pengalaman sikap, maupun suasana batin yang melingkupinya.
-       Puisi dramatik, adalah salah satu jenis puisi yang secara objektif menggambarkan perilaku seseorang baik lewat kelakuan, dialog, maupun monolog sehingga mengandung suatu gambaran kisah tertentu.
-       Puisi dikdaktik, adalah puisi yang mengandung nilai-nilai pendidikan yang umumnya terampil eksplisit.
-       Puisi satirik, adalah puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat.
-       Romance, adalah puisi yang berisi luapan rasa cinta seseorang terhadap kekasih.
-       Elegi, adalah puisi ratapan yang mengungkapkan rasa pedih seseorang.
-       Ode, adalah puisi yang berisi pujian terhadap seseorang yang memiliki jasa atau sikap kepahlawanan.
-       Himne, adalah puisi yang berisi pujian kepada Tuhan maupun ungkapan rasa cinta terhadap bangsa.
b.      Prosa adalah bentuk sastra yang dinyatakan dengan bahasa bebas, artinya tidak memakai ikatan yang luar biasa. Bentuk-bentuk dari prosa yaitu novel, roman dan cerpen.
c.       Novel adalah cerita yang berbentuk prosa dalam ukuran yang luas yang menguraikan peristiwa kehidupan seseorang yang luar biasa dan berakhir dengan perubahan nasib kehidupan pelakunya. Menurut isinya novel dapat dibagi menjadi tiga yakni :
-       Novel percintaan, merupakan novel yang melibatkan peranan tokoh wanita dan pria secara seimbang, bahkan kadang-kadang peranan wanita lebih dominan.
-       Novel petualangan, merupakan novel yang sedikit sekali memasukan peranan wanita.
-       Novel fantasi, merupakan sebuah cerita tentang hal-hal yang tidak realitas dan serba tidak mungkin dilihat dari pengalaman sehari-hari.
d.      Roman adalah karangan yang menceritakan kehidupan manusia dengan suka dan duka. Roman dapat dibedakan sebagai berikut :
-       Roman adat, merupakan roman yang berisi kecaman terhadap adat yang berlaku tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman.
-       Roman psikologis, merupakan roman yang ceritanya berasal dari kehidupan jiwa manusia.
-       Roman bertujuan, adalah roman berisi tujuan atau cita-cita pengarangnya.
-       Roman sejarah, merupakan roman yang terdapat unsur sejarah dan pelakunya diambil dari orang-orang yang benar ada dalam sejarah tanah air.
-       Roman ditektif, merupakan roman yang menceritakan persoalan polisi rahasia.
e.       Cerpen atau cerita pendek. Kata pendek disini tidak ada ketentuan yang pasti. Pendek disini diartikan sebagai bacaan yang singkat yang dapat dibaca sekali duduk dalam waktu yang singkat, genrenya mempunyai efek tunggal, karakter, plot dan setting yang terbatas, tidak beragam dan tidak kompleks.

2)   Karya Non Imajinatif
Karya non imajinatif kadar faktanya agak menonjol. Para sastrawan di dalam mengarang sastra yang imajinatif benar-benar berkerja berdasarkan fakta atau kenyataan yang betul-betul terjadi.
Yang termasuk ke dalam karya sastra nonimajinatif adalah esei, kritik, bografi, otobiografi, sejarah, memoar, catatan harian, dan surat-surat.
a.    Easi adalah karangan pendek tentang sesuatu fakta yang dikupas menurut pandangan pribadi penulisannya. Untuk mengungkapkan fakta dalam esai dapat dibagi empat yakni :
-       Esai deskripsi, benar-benar fakta itu digambarkan secara sebenarnya, penulisan tak dibebani untuk menjelaskan atau menafsirkan fakta tersebut, penulisan bertugas hanya untuk memotret dan melaporkan apa adanya tanpa dibebani harus mengomentari.
-       Esai ekposisi, penulisan bukan hanya tidak hanya bertugas untuk menggambarakan fakta tetapi harus menjelaskan fakta sempurna-sempurnanya.
-       Esai argumentasi, penulis bukan hanya sekedar menujukan fakta saja tetapi juga harus menujukan permasalahannya,setelah itu baru dianalisis dan disimpulkan,
-       Esai narasi, penulisan selain bisa menggambarkan fakta dalam urutan yang kronologis, juga harus bisa menceritakan dalam bentuk cerita.
b.    Kritik adalah analisis untuk menilai suatu karya seni, yakni kritik sastra intrinsik dan kritik sastra ekstrinsik. Kritik sastra intrinsik menganalisis sebuah karya sastra berdasarkan bentuk dan gayanya. Kritik sastra intrinsik mengupas unsur-unsur karya menilai dan menyimpulkan kelemahan dan kelebihan yang terdapat dalam karya itu. Disamping itu jenis kritik dibagi menjadi tiga, yaitu :
-       Kritik impresionistik adalah kritik yang berupa kesan-kesan pribadi secara subjektif terhadap sebuah karya sastra.
-       Kritik penghakiman adalah kritik yang bekerja secara deduksi dengan berpegang teguh kepada ukuran-ukuran sastra terrtentu, untuk menetapkan apakah karya sastra itu baik atau tidak.
-       Kritik teknis adalah kritik sastra yang bertujuan menunjukkan kelemahan-kelemahan tertentu dari sebuah karya sastra agar pengarangnya dapat memperbaiki kesalahannya dilain waktu.
c.    Biografi adalah cerita tentang hidup seseorang yang ditulis oleh orang lain. Biografi digolongkan menjadi empat, yaitu :
-       Biografi ilmiah adalah biografi yang penuh dengan data-data teknis yang menjadi keahlian khusus tokoh tersebut.
-       Biografi berat sebelah adalah biografi yang banyak menyembunyikan atau menghilangkan segi-segi buruknya, karena demi keberhasilan tujuan yang akan dicapainya.
-       Biografi populer adalah biografi yang menekankan penggambaran riwayat hidup seseorang secara jelas.
-       Novel biografi adalah novel yang lebih mementingkan unsur khayalinya daripada fakta.
d.   Otobiografi adalah biografi yang ditulis oleh tokohnya sendiri atau kadang-kadang ditulis oleh orang lain atas penuturan dan sepengetahuan tokohnya.
e.    Sejarah adalah cerita tentang zaman lampau sesuatu masyarakat berdasarkan sumber-sumber tertulis maupun tidak tertulis.
f.     Memoar adalah sebuah otobiografi, yakni riwayat yang ditulis oleh tokohnya sendiri.
g.    Catatan harian adalah catatan seseorang tentang dirinya dan lingkungan hidup yang ditulis secara teratur.
h.    Surat-surat adalah tokoh tertentu untuk orang lain dapat dinilai sebagai karya sastra karena kualitas yang sama seperti terdapat dicatatan harian.

F.     Aliran-Aliran Dalam Sastra
s      Aliran realisme adalah aliran ini melukiskan sebagai objek cerita.
s      Aliran naturalisme merupakan aliran cabang dari aliran realisme dan cenderung melukiskan kenyataan-kenyataan yang buruk dan jelek.  
s      Aliran neo-naturalisme adalah naturalisme yang tidak hanya mengemukakan keburukan atau kejelekan saja, tetapi cenderung pula melukiskan keadaan yang baik dan bagus.
s      Aliran ekspresionisme adalah aliran yang mengambil cara menyampaikan segala lukisan dengan menempuh curahan jiwa.
s      Aliran impresionisme adalah aliran yang melukiskan kenyataan yang sebenarnya dengan jalan mengemukakan kesan atau pandangan sepintas lalu.
s      Aliran determinisme merupakan cabang dari aliran naturalisme yang melukiskan nasib buruk yang ditentukan oleh keadaan zaman dan lingkungan.
s      Aliran surealisme merupakan aliran realisme yang berlebih-lebihan sehingga lukisannya merupakan campuran antara realisme dan ekspresionisme. 
s      Aliran romantik merupakan lawan dari aliran realisme.
s      Aliran idealisme merupakan aliran yang mengutamakan idea sebagai pokok tujuannya.
s      Aliran simbolik adalah gubahan yang beraliran romantik yang melukiskan dan memakai alam hewan atau tumbuhan sebagai perlambangannya bagi kehidupan manusia.
s      Aliran psikologisme adalah aliran yang mengutamakan penguraian jiwa.
s      Aliran didaktis adalah aliran yang bermaksud member pendidikan kepada seluruh lapisan masyarakat, bahannya diambil dari tengah-tengah masyarakat.

G.    Perkembangan Sastra di Indonesia
Ketika kita membahas masalah perkembangan sastra Indonesia, bayangan kita seringkali tertuju pada angkatan-angkatan sastra Indonesia, seperti angkatan 1920-an atau disebut juga angkatan Balai Pustaka; angkatan 1933, yang disebut juga angkatan Pujangga Baru; angkatan 1945 yang disebut angkatan Pendobrak, dan angakatn 1966 atau disebut juga angkatan Orde Lama.
Angkatan 1920-an identik dengan novel Marah Rusli berjudul Siti Nurbaya; angkatan 1933 dengan tokoh sastrawannya Sutan Takdir Alisahbana (dalam bidang prosa) dan Amir Hamzah (bidang puisi). Angjatan 1945 dengan tokoh sentralnya, Chairil Anwar dengan puisi-puisinya yang sangat monumental berjudul Aku. Angkatan 1966 dengan tokoh centralnya Dr. Taufik Ismail dengan kumpulan puisinya berjudul Tirani dan Benteng.
Pembagian angkatan seperti itu dikemukakan oleh Hans Bague Jassin (H.B. Jassin), seorang ahli sastra Indonesia yang sering disebut-sebut sebagai Paus Sastra Indonesia. Tentu boleh-boleh saja kita setuju dengan pembagian seperti itu, apalagi memang kepakaran H.B. Jassin dalam mengapresiasi sastra Indonesia cukup mumpuni. Tetapi yang lebih penting kita ketahui adalah bahwa sastra Indonesia dari masa ke masa mengalami perkembangan.
Menarik untuk diperhatikan bahwa perkembangan sastra Indonesia berbanding lurus dengan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan formal, dimulai tahun 1900-an, yaitu ketika penjajah Belanda membolehkan bangsa boemi poetra (sebutan untuk orang Indonesia oleh Belanda) memasuki pendidikan formal. Tentu saja pendidikan formal saat itu adalah milik penjajah Belanda.
Karena genre sastra terdiri dari tiga bentuk (yaitu puisi, prosa, dan drama), maka ada baiknya kita menganalisis perkembangan genre sastra ini dari tiga bentuk itu. Dengan demikian, dalam pembelajaran ini Anda akan menganalisis perkembangan puisi, prosa, dan drama dalam lingkup sastra Indonesia.

v   Perkembangan Puisi

Dilihat dari segi kewaktuan, puisi Indonesia dibedakan menjadi puisi lama dan puisi modern. Puisi lama Indonesia umumnya berbentuk pantun atau syair. Dan bersifat anonim karena tidak disebutkan siapa pengarangnya. Puisi lama menjadi milik masyarakat.
Puisi modern, atau puisi baru, berkembang sejak bangsa Indonesia mengenal pendidikan formal. Maka puisi modern Indonesia mulai muncul tahun 1920-an karena pada tahun itulah bangsa terdidik Indonesia mulai muncul. Sejak itu puisi baru Indonesia terus berkembang. Sejarah perpuisian Indonesia mencatat beberapa penyair berikut:
Penyebutan nama-nama di atas tentu saja masih belum lengkap karena penyair-penyair Indonesia yang tersebar di berbagai daerah masih banyak. Boleh jadi jumlahnya sampai ratusan, bahkan ribuan. Yang tercatat diatas hanyalah penyair-penyair yang secara intens kerap muncul di media massa dengan karya-karyanya, baik karya berbentuk puisi itu sendiri maupun esai-esainya. Dan oleh pengamat sastra (kritikus) dicatat namanya sebagai penyair yang karyanya layak disebut puisi-puisi yang bermutu.

v   Perkembangan Prosa

Seiring dengan perkembangan puisi, prosa Indonesia pun berkembang pula. Seperti puisi, prosa pun mengenal prosa lama dan prosa baru atau prosa modern. Prosa lama bersifat anonim; dengan penjenisannya meliputi dongeng, hikayat, fabel, sage. Sedangkan prosa baru, dengan diukur dari panjang pendeknya, meliputi cerpen, novelet, dan novel/roman.
Prosa Indonesia baru pun mulai muncul tahun 1920-an, dengan ditandai munculnya novel monumental berjudul Siti Nurbaya, buah karya Marah Rusli. Lalu zaman Pujangga Baru muncul pula Sutan Takdir Alisjahbana dengan roman berjdul Layar Terkembang. Lalu, menjelang kemerdekaan muncul Armiyn Pane yang menulis novel Belenggu yang dianggap novel modern pada zamannya.
Tahun 1945 perlu dicatat nama Idrus sebagai prosaic cerpen. Buku kumpulan cerpennya Dari Ave Maria ke Jalan Lain Ke Roma menjadi buku yang cukup terkenal. Selain itu juga novel singkat yang digarap dengan nada humor berjudul Aki.
Tahun 1949 muncul novel karya Achdiat Karta Miharja berjudul Atheis. Atheis termasuk novel yang cukup berhasil karena hamir semua unsurnya menonjol dan menarik unuk dibaca. Dengan mengambil latar Pasundan berhasil mengangkat sebuah tema terkikisnya sebuah kepercayaan keagamaan. Hasan, tokoh utama dalam novel ini, adalah orang yang 180 derajat berbalik dari taat beragama tiba-tiba menjadi seorang yang atheis karena pengaruh pergaulannya dengan Rusli dan Anwar yang memang berpaham komunis.
Tahun 1955 muncul cerpen yang sangat terkenal, berjudul Robohnya Surau Kami, buah karya Ali Akbar Navis (lebih dikenal dengan A.A. Navis). Cerpen ini sarat dengan kritik sosial menyangkut kesalahan orang dalam menganut agama. Navis nambapknya ingin mendobrak paham keagamaan masyarakat Indonesia yang mengira beribadah hanyalah sekedar melaksanakan shalat, puasa, atau mengaji Quran; sedangkan kegiatan lain di luar ibdah formal, sepertimencari nafkah, peduli pada sesama dan alam dibaikan. Lewat tokoh Haji Shaleh yang tiba-tiba masuk neraka karena ulahnya di dunia yang mengabaikan kepentingan keluarga.
Tahun 1968 muncul novel berjudul Merahnya Merah, garapan Iwan Simatupang, sebuah novel yang cukup absurd, terutama dalam hal gaya bercerita. Namun demikian, novel ini banyak memperoleh pujian dan sorotan para kritikus sastra, baik dalam maupun luar negeri.
Tahun 1975 nuncul novel Harimau! Harimau!, buah karya Mochtar Lubis, menceritakan tentang tujuh orang pencari damar yang berada di tengah sutan selama seminggu. Mereka adalah Pak Haji, Wak Katok, Sutan, Talib, Buyung, Sanip dan Pak Balam. Di tengah hutan itu mereka berhadapan dengan seekor harimau yang tengah mencari mangsa. Empat orang di antara tujuh orang itu (Pak Balam, Sutan, Talib, dan Pak Haji). Kecuali Pak Haji yang meinggal karena tertembak senapan Wak Katok, tiga yang lalinnya meninggal karena diterkam Harimau.
Haimau! Harimau! Sarat dengan pesan moral, yaitu bahwa setiap manusia harus mengakui dosanya agar terbebas dari bayang-bayang ketakutan. Pak Balam, orang yang pertama terluka karena diterkam harimau, mengakkui dosa-dosanya di masa muda, dan menyuruh para pendamar yang lain juga mengakui dosa-dosanya. Semua memang mengakui, hanya Wak Katok yang enggan mengakuinya.
Tahun 1982, muncul novel Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari, sebuah novel yang berhasil mendeskripsikan adat orang Jawa, khususnya Cilacap.
Tahun 1990, Ramadhan K.H. menulis novel berjudul Ladang Perminus, sebuah novel yang mengisahkan tentang korupsi di tubuh Perusahaan Minyak Nusantara (Perminus). Novel ini seolah-olah menelanjangi tindakan korupsi di tubuh Pertamina, sebagai perusahaan pertambanyak minyak nasional.
Dan novel paling mutakhir adalah Saman, 1998, karya Ayu Utami. Ayu Utami termasuk novelis yang membawa pembaharuan dalam perkembangan novel Indonesia. Dalam Saman, Ayu Utami tidak sungkan-sungkan membahas masalah seks, sesuatu yang di Indonesia dianggap kurang sopan untuk diungkap. Tapi mungkin zamannya sudah berubah, kini masalah seks sudah bukan merupakan hal yang tabu untuk diungkapkan. Ironis, bahwa yang mengungkap secara detail dan sedikit jorok dalam nobvel ini adalah justru seorang wanita, Ayu Utami.
Dan untuk tahun 2000-an ini, tepatnya tahun 2003 yang baru silam, telah terbit novel termuda, dari penulis termuda pula yang menulis novel berjudul Area X, sebuah novel futurisktik tentang Indonesia tahun 2048, mengenai deribonucleic acid dan makhlluk ruang angkasa. Novel ini ditulis oleh Eliza Vitri Handayani, seorang siswi kelas 2 SMA Nusantara Magelang, sebuah SMA favorit di Indonesia.

v   Perkembangan Drama
Perkembangan drama di Indonesia tak sesemarak dan setua perkembangan puisi dan prosa. Kalau puisi dan prosa mengenal puisi lama dan porsa lama, tak demikianlah dengan drama. Genre sastra drama di Indonesia benar-benar baru, seiring dengan perkembangan pendidikan di Indonesia, muncul pada tahun 1900-an.
Sastra drama di Indonesia ditulis pada awal abad 19, tepatnya tahun 1901, oleh seorang peranakan Belanda bernama F. Wiggers, berupa sebuah drama satu babak berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno. Untuk selanjutnya bermunculanlah naskah-naskah drama dalam bahasa Melayu Rendah yang ditulis oleh para pengarang peranakan Belanda dan atau Tionghoa.

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sastra adalah seni bahasa. Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam. Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa. Dimaksud dengan pikiran disini adalah pandangan, ide-ide, perasaan, pemikiran, dan semua kegiatan mental manusia. Sastra adalah inspirasi yang diekspresikan dalam sebuah bentuk keindahan. Sastra juga adalah semua buku yang memuat perasaan manusia yang mendalam dan kebenaran moral dengan sentuhan kesucian, keleluasaan, pandangan, dan membentuk yang mempesona.
Di dalam karya sastra terdapat jenis-jenis karya sastra yaitu sastra imajinatif dan sastra non imajinatif. Sastra imajinatif adalah karya-karya yang amat tipis berhubungan dengan fakta atau realita kehidupan. Sastra imajinatif antara lain puisi dan prosa.
Karya non imajinatif kadar faktanya agak menonjol. Para sastrawan di dalam mengarang sastra yang imajinatif benar-benar berkerja berdasarkan fakta atau kenyataan yang betul-betul terjadi. Yang termasuk ke dalam karya sastra nonimajinatif adalah esei, kritik, bografi, otobiografi, sejarah, memoar, catatan harian, dan surat-surat.

B.       Saran
Sastra merupakan sebuah seni yang menyiratkan hal-hal yang baik. Di dalam sastra kita harus melihat aspek kebaikan dan keindahan. Jika belum lengkap dalam keindahan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai sebuah karya sastra yang baik. Oleh karena itu, sastra hendaknya mempunyai nilai-nilai yang benar dalam keindahannya dan dapat menjanjikan kepada pencinta sastra untuk menikmati dan menghayati sebuah karya sastra.  


DAFTAR PUSTAKA


Suhendar dan Pien Supinah. 1993. Pendekatan Teori Sejarah dan Apresiasi Sastra Indonesia. Bandung : CV. Pionir Jaya.