BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penentuan atau kriteria bahasa Indonesia yang baik dan yang benar itu tidak jauh berbeda dengan bahasa baku. Kebakuan suatu kata sudah menunjukan masalah benar suatu kata itu. Walaupun demikian, masalah baik tentu tidak sampai pada sifat kebakuan suatu kalimat, tetapi sifat efektifnya suatu kalimat.
Pengertian benar pada suatu kata atau suatu kalimat adalah pandangan yang diarahkan dari segi kaidah bahasa. Sebuah kalimat atau sebuah pembentukan kata dianggap benar apabila bentuk itu mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku.
Pengertian baik pada suatu kata atau kalimat adalah pandangan yang diarahkan dari pilihan kata (diksi). Dalam suatu pertemuan kita dapat memakai kata yang sesuai dengan pertemuan itu sehingga kata-kata yang keluar atau dituliskan tidak akan menimbulkan nilai rasa yang tidak pada tempatnya. Pemilihan kata yang akan dipergunakan dalam suatu untaian kalimat sangat berpengaruh terhadap makna kalimat yang dipaparkan itu. Pada suatu ketika kita menggunakan kata menugasi, tetapi pada waktu lain kita menggunakan kata memerintahkan, minta bantuan, memercayakan dan sebagainya. Sedangkan bahasa tidak baku, bahasa yang sudah digunakan oleh manusia secara umumnya tidak harus mengikuti tatabahasa yang baik dan benar. Bahasa yang baik dan benar sudah terbenam, jarang digunakan lagi karena masyarakat lebih mengutamakan bahasa tidak bakunya. Oleh karena itu, bahasa tersebut tidak terdengar lagi dikalangan masyarakat secara umumnya.
Sebagai kesimpulan, yang dimaksud dengan bahasa yang benar adalah bahsa yang menerapkan kaidah dengan konsisten, sedangkan yang dimaksud dengan bahasa yang baik adalah bahasa yang mempunyai nilai rasa yang tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisi pemakaiannya. Sedangkan bahasa tidak baku, bahasa yang digunakan tidak secara formal dan lebih banyak digunakan oleh masyarakata secara umum. Bahasa yang baik dan benar tidak terdengar lagi karena tertumpuknya dengan bahasa yang tidak baku.
B. Tujuan
Makalah ini dibuat untuk bertujuan sebagai informasi kepada pelajar khususnya mahasiswa untuk mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang baik dan benar atau dalam istilahnya disebut bahasa baku. Dengan mengetahui bahasa baku maka seorang mahasiswa atau pelajar sudah memperbaiki bahasa yang baik dan menjadi insiprasi masyarakat bagaimana menggunakan bahasa yang baku.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bahasa
Bahasa adalah sistem tanda. Yang dimaksud dengan tanda ialah tiap lambang yang digunakan sebagai alat komunikasi antara dua orang atau lebih. Biasa tanda-tanda itu biasanya beraneka jenis dan karena itu juga terdapat pelbagai jenis bahasa. Setiap indera memilki sistem tandanya sendiri, kalau ada orang atau lebih telah bersepakat menggunakan dan arti tanda-tanda itu dan mereka memberi tanda-tanda itu untuk memberitahu sesuatu.
Dengan demikian terdapat bahasa, tetapi diantara sistem-sistem tanda yang konvensionil ada satu yang utama yang kaya akan kemungkin-kemungkinanya guna menyatakan sesuatu yaitu: sistem tanda yang ucapkan atau diartikulasikan. Sistem itu begitu mesra hubungannya dengan manusia, sehingga sering dibantu oleh seluruh organisme manusia yang berupa, gerak anggota badan, muka yang menyatakan pikiran dan perasaan.
Kata bahasa dalam bahasa Indonesia memiliki lebih dari satu makna atau pengertian, sehingga seringkali membingungkan. Untuk jelasnya, coba perhatikan pemakaian kata bahasa dalam kalimat-kalimat.
1. Dia belajar bahasa inggris, Nita belajar bahasa Jepang.
2. Manusia mempunyai bahasa, sedangkan bintang tidak.
Kata bahasa pada kalimat pertama jelas menunjuk pada bahasa tertentu. Pada kalimat kedua kata bahasa menunjuk pada umumnya; suatu langage.
Banyak pakar yang membuat definisi tentang bahasa dengan pertama-tama menonjolkan segi fungsi itu, seperti Sapir (21: 8). Badudu (1989: 3), dan Keraf (1984: 16). Dari fungsi tersebut yang menonjolkan sosok bahasa itu adalah seperti yang dikemukakan Ridalaksana (1983 dan juga dalam Djoko Kendjono): “bahasa adalah system lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para pakar anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, komunikasi, dan mengidentifikasikan diri”.
Masalah lain berkenaan dengan pengertian bahasa sebuah tuturan disebut bahasa yang berbeda dengan bahasa lainnya. Dari dua tuturan tersebut bahasa dibedakan berdasarkan dua buah patokan yaitu patokan linguistik dan patokan politis.
Jadi, bahasa tidak pernah lepas dari manusia, dalam arti tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai bahasa, tetapi karena “rumitnya menentukan suatu parole bahasa atau bukan hanya dialek saja dari bahasa yang lain, maka hingga kini belum ada angka yang pasti jumlah bahasa yang ada di dunia.
B. Hakikat Bahasa
Dari beberapa pakar menyatakan bahwa terdapat beberapa ciri-ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa, diantaranya:
1. Bahasa adalah sebuah sistem.
Kata sistem sudah biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan makna “cara” atau “aturan”. Jenjangnya subsisten dalam linguistik dikenal dengan nama tataran linguistik atau tataran bahasa. Urutan dari tataran yang terendah sampai tataran tertinggi, menyangkut tiga sub sistem struktural adalah tataran fonem, morfem, frase, klausa, kalimat dan wacana.
2. Bahasa itu berwujud lambang.
Kata lambang sudah sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari. Kata lambang sering dipadankan dengan kata symbol dengan pengertian yang sama. Lambang dengan pelbagai seluk beluknya dikaji orang dengan kegiatan ilmiah dalam bidang kajian yang disebut ilmu semiotika atau semiologi, yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam kegiatan manusia yang termasuk dalam bahasa.
3. Bahasa itu berupa bunyi.
Bahasa adalah sebagai bunyi yang seluruhnya dapat dikatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi. Sistem bahasa itu berupa lambang yang wujudnya berupa bunyi yang menjadi masalah sekarang adalah apakah yang dimaksud dengan bunyi itu, dan apakah bunyi itu termasuk lambang. Kata bunyi yang sukar dibedakan dengan kata suara, sudah bisa kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Secara teknis menurut Ridalaksana (1983: 27), bunyi adalah kesan pada pusat saraf berbagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Yang dimaksud lambang bahasa adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
4. Bahasa bersifat arbitrer.
Kata arbitrer dapat diartikan sewenag-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, dan mana suka. Yang dimaksud dengan istilah arbitrer itu adalah tidak ada hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang itu.
5. Bahasa itu bermakna.
Lambang-lambang bunyi yang bermakna itu di dalam bahasa berupa kesatuan-kesatuan bahasa yang berwujud morfem, kata, frase, klausa, kalimat dan wacana. Semua satuan itu memiliki makna. Makna yang berkenaan dengan morfem disebut dengan makna leksikal; yang berkenaan dengan frase, klausa, dan kalimat disebut makna dramatikal; dan yang berkenaan dengan wacana disebut makna pargmatik, atau makna konteks.
6. Bahasa bersifat konvensional.
Meskipun hubungan antara lambang bunyi yang dilambangkan bersifat arbitrer, tetapi penggunaan lambang untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya semua anggota masyarakat bahasa mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya. Berbeda dengan keabitreran bahasa terletak pada hubungan antara lambang-lambang bunyi dengan konsep yang dilambangkan, maka kekonvensionalan bahasa terletak pada kepatuhan para penutur bahasa untuk menggunakan lambang sesuai dengan konsep yang dilambangkan.
7. Bahasa itu bersifat unik.
Unik artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh yang lain. Bahasa dikatakan bersifat unik, maka artinya setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lain, ciri khas menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, system pembentukan kalimat atau sistem-sistem lainnya.
8. Bahasa itu bersifat universal.
Bahasa bersifat universal artinya ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia. Ciri-ciri yang bersifat universal tentunya merupakan unsur bahasa yang paling umum yang bisa dikaitkan dengan ciri-ciri atau sifat-sifat bahasa lain.
9. Bahasa itu bersifat produktif.
Kata produktif adalah bentuk adjektif dari kata produksi. Arti produktif adalah banyak hasilnya atau lebih cepat “terus menerus menghasilkan”. Bahasa yang dikatakan produktif maka maksudnya unsur-unsur bahasa itu terbatas. Akan tetapi dengan unsur yang jumlahnya terbatas dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas, meski secara relatif, sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa.
10. Bahasa itu bervariasi.
Mengenai variasi bahasa ada tiga istilah yang perlu diketahui yaitu idiolek, dialek dan ragam. Idiolek adalah variasi atau ragam bahasa yang bersifat perseorangan. Mempunyai ciri khas berbahasanya masing-masing. Dialek adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat atau sewaktu-waktu. Sedangkan ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan, atau untuk keperluan tertentu.
11. Bahasa itu bersifat dinamis.
Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai oleh bahasa. Dari kriteria tersebut keterkaitan dengan bahasa dalam kehidupannya di dalam masyarakat kegiatan manusia tidak tetap dan selalu berubah-ubah, maka bahasa juga menjadi ikut berubah atau tidak statis. Dalam hal ini bahasa disebut bahasa bersifat dinamis.
12. Bahasa berfungsi sebagai alat interaksi sosial.
Bahasa mempunyai fungsi yang paling utama adalah sebagai alat komunikasi. Di dalam masyarakat sosial bahasa tidak dapat putus, dari sebuah interaksi sosialnya yang nantinya akan dijadikan sebagai gagasan atau berpendapat di kalangan masyarakatnya.
13. Bahasa merupakan identitas penuturnya.
Bahasa menjadi identitas penuturnya, dengan orang berbahasa akan terlihatkan, dari mana asal orang tersebut. Yang saat menonjol sekali adalah dialek saat dia berbicara. Karena dialek sulit untuk dihilangkan dari penuturnya. Selain itu, bahasa dapat juga memperlihatkan identitas intelek seseorang, orang yang berpendidikan dengan orang yang tidak berpendidikan sangat berbeda dari cara dia berbahasa.
C. Kedudukan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting, seperti tercantum pada ikrar ketiga sumpah pemuda yang berbunyi: kami putra dan putri Indonesia menjujung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ini berarti bahwa bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional; kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah. Ada dua macam kedudukan bahasa Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945 pasal khusus bab 15 pasal 36.
1. Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional sesuai dengan sumpah pemuda 1928.
2. Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa negara sesuai dengan UUD 1945.
D. Fungsi Bahasa Indonesia
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
1. Lambang kebanggaan kebangsaan.
2. Lambang identitas nasional.
3. Alat perhubungan antarwarga, antar daerah dan antar budaya.
4. Alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing kedalam kesatuan kebangsaan Indonesia
E. Penggunaan Bahasa
Adanya berbagai macam dialek dan ragam bahsa menimbulkan masalah. Bagaimana mengunakan bahasa dalam masyarakat. Kaidah-kaidah gramatikal, maka bahasa yang digunakan sudah benar. Dalam bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata ganti orang kedua dalam bahasa Indonesia ada disebutkan kata ganti orang kedua dalam bahasa Indonesia adalah kamu atau engkau. Secara sosial kedua kata ganti itu tidak dapat dipakai untuk menyapa orang kedua yang lebuh tua atau yang dihormati. Kata ganti itu hanya dapat digunakan untuk orang kedua yang sebaya, lebih muda, atau kedudukan sosialnya lebih rendah
§ Etika Berbahasa
Hubungan antara bahasa dan kebudayaan secara luas telah kita dibicarakan. Keduanya mempunyai hubungan yng sangat erat dan saling mempengaruhi. Etika berbahasa ini erat berkitan dengan pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam sati maasyara. Etika berbahasa ini erat berkaitan dengan pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam suatau masyarakat. Seseorang baru dapat disebut pandai berbahasa kalau dia menguasai tata cara atau etika berbahasa. Dalam kajian antropologi istilah etnografidigunakan untuk pemerian kebudayaan. Dalam hal ini memang tidak bertentangan, sebab etika berbahasa itu juga merupakan subsistem kebudayaan.
§ Kebijaksanaan Berbahasa
Kebijaksanaan bahasa dapat diartikan sebagai suatu pertimbangan konseptual dan politis, yang dimaksudkan untuk dapat memberikan perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengolahan keseluruh masalah kebahasaan yang dihadapi oleh suatu bangsa secara nasional. Jadi kebijaksanaan bahasa itu merupakan satu pegangan yang bersifat nasional, untuk kemudian membuat perencanaan bagaimana cara membina dan mengembangkan satu bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang dapat digunakan secara tepat di seluruh negara, dan dapat diterima oleh segenap warga yang secara lingual, etnis, dan kultur berbeda. Masalah-masalah kebahasaan yang dihadapi setiap bangsa adalah tidak sama, sebab tergantung pada situasi kebahasaan yang ada di dalam negara itu. Negara-negara yang sudah memiliki sejarah kebahasaan yang cukup, dan didalam negara itu hanya ada satu bahasa saja (meskipun dengan sekian dialek dan ragamnya) cenderung tidak mempunyai masalah kebahasaan yang serius. Tujuan kebijakan bahasa adalah dapat berlangsungnya komunikasi kenegaraan dan komunikasi intrabangsa dengan baik, tanpa menimbulkan gejolak sosial dan emosianal yang dapat mengganggu stabilitas bangsa. Kebijakan untuk mengangkat satu bahasa terterntu sebagai bahasa nasional dan sekaligus sebagai bahasa negara boleh saja dilakukan asal saja tidak membuat bahasa-bahasa yang lain yang ada didalam negeri itu menjadi tersisih, atau membuat para penuturnya menjadi resah, yang pada gilirannya dapat menimbulkan gejolak politik dan gejolak sosial.
§ Perencanaan Bahasa
Istilah perencanaan bahasa (language planning) mula-mula digunakan oleh Haugen pegertian usah untuk membimbing perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana. Menurut Haugen selnjutnya, perencanaan bahasa itu tidak semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan yang diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan itu merupakan usaha yang terarah untuk mempengaruhi masa depan.
Pelaksanaan perancangan bahasa ini kemungkinan besar akan mengalami akibat dari perencanaannya yang kurang tepat, bisa juga dari pada pemegang tampuk kebijakan, dari kelompok sosial tertentu, dari sikap bahasa para penutur, maupun dari dana ketenagaan. Perencanaan yang kurang tepat bisa bersumber dari pengambilan kebijaksanaan yang kurang tepat atau keliru, karena salah mengestimasi masalah kebahasaan yang yang harys diteliti.
§ Bahasa Baku
Bahasa baku adalah salah satu variasi bahasa (dari sekian banyak variasi) yang diangkat dam di sepakati sebagai ragam bahasa yang akan dijadikan tolak ukur sebagai bahasa yang baik dan benar dalam komunikasi yang bersifat resmi, baik secara lisan maupun tulisan. Dalam hal persatuan sering muncul pertanyaan, apakah bahasa baku itu sama dengan bahasa nasional, bahasa persatuan, bahasa negara, dan bahasa tinggi (yang ada dalam masyarakat yang diglosik). Oleh karena itu, sejak awal sudah dijelaskan penamaan yang lebih tepat adalah ragam bahasa baku atau bahasa tidak baku. Penamaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa resmi, atau bahasa persatuan adalah penamaan terhadap keseluruhan bahasa Indonesia sebagai sebuah langue dengan segala macam ragam dan variasinya.
§ Fungsi Bahasa Baku
Selain fungsi penggunaan untuk situasi-situasi resmi, ragam bahasa baku menurut Gravin dan Mathio juga mempunyai fungsi lain yang bersifat politik, yaitu:
1. Fungsi pemersatu
Fungsi pemersatu adalah kesanggupan bahasa baku menghilangkan perbedaan variasi dalam masyarakat tutur, dalam bentuk minimal, memperkecil adanya perbedaan variasi dialektal dan menyatukan masyarakat tutur yang berbeda dialeknya.
2. Fungsi pemisah
Adalah bahwa ragam bahasa baku itu dapat memisahkan atau membedakan penggunaak ragam bahasa tersebut untuk situasi yang formal dan yang tidak formal.
3. Fungsi harga diri
Adalah bahwa pemakaian baku itu akan memiliki perasaan harga diri yang lebih tinggi daripada yang tidak dapat menggunakannya, sebab ragam bahasa baku biasanya tidak dapat dipelajari dari lingkungan keluarga atau lingkungan hidup sehari-hari.
4. Fungsi kerangka acuan
Adalah bahwa ragam bahasa baku itu akan menjadi tolak ukur untuk norma pemakaian bahasa yang baik dan benar secara umum.
F. Bahasa Indonesia Baku
Pembakuan bahasa Indonesia dalam bidang kosakata dan peristilahan juga tidak lama dilakukan. Kebakuan unsur leksikal dapat dilihat dari:
1. Ejaannya
2. Lafalnya
3. Bentuknya
4. Sumber pengambilannya
Sering kali bahasa baku harus maminjam unsur leksikal dari kosakata tidak baku karena memang diperlukan. Sepanjang itu memang diperlukan karena belum ada padanannya dalam kosakata bahasa baku, maka hal itu tidak menjadi soal unsur leksikal itu bisa saja diperlakukan sebagai unsur pinjaman atau serapan.
G. Bahasa Indonesia Yang Baik dan Benar
Setelah masalah baku dan tidak baku dibicarakan, perlu pula bahasa yang baik dan yang benar dibicarakan. Penentuan atau kriteria bahasa Indonesia yang baik dan yang benar itu tidak jauh berbeda dari apa yang kita katakan sebagai bahasa baku. Kebakuan suatu kata sudah menunjukan masalah “benar” suatu kata itu. Walaupun demikian, masalah “baik” tentu tidak sampai pada sifat kebakuan suatu kalimat, tapi sifat efektifnya suatu kalimat.
Pengertian benar pada suatu kata atau suatu kalimat adalah pandangan yang di arahkan dari segi kaidah bahasa. Sebuah kalimat atau sebuah pembentukan kata dianggap benar apabila betuk itu mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku.
Pengertian baik pada suatu kata (bentukan) atau kalimat adalah pandangan yang diarahkan dari pilihan kata (diksi). Dalam suatu pertemuan kita dapat memakai kata yang sesuai dengan pertemuan itu sehingga kata-kata yang keluar atau dituliskan itu tidak akan menimbulkan nilai rasa yang tidak pada tempatnya. Pemilihan kata yang akan dipergunakan dalam suatu untaian kalimat sangat berpengaruh terhadap makna kalimat yang dipaparkan itu.
Sebagai kesimpulan, yang dimaksud dengan bahasa yang benar adalah bahasa yang menerapkan kaidah yang konsisten, sedangkan yang dimaksud dengan bahasa yang baik adalah bahasa yang mempunyai nilai rasa yang tepat dan sesuai dengan situasi pemakaiannya.
H. Tujuan Pengajaran Bahasa
Secara nasional pada hemat kami tujuan pendidikan bahasa itu harus dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan institusional, lalu dikaitkan dengan status politis (nasional, daerah, atau asing) bahasa yang dipelajari, dan kemudian dikaitkn pula dengan fungsi-fungsi bahasa yang diperlukan. Tujuan pendidikan nasional, di Indonesia pada dasarnya membentuk manusia pancasila seutuhnya. Tujuan institusional adalah tujuan yang harus dicapai dalam lembaga-lembaga kependidikan tertentu, seperti sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi. Tujuan institusional ini diharapkan dapat dicapai setelah siswa menyelesaikan pendidikan di lembaga tersebut. Untuk mencapai tujuan pengajaran bahasa dengan baik, maka tujuan itu harus pula dikaitkan dengan status atau kedudukan bahasa itu secara nasional. Di Indonesia ada tiga macam bahasa dengan status yang berbeda, yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Status bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan bahasa resmi negara.
Hubungan dengan tujuan pengajaran, dan khusus dengan tujuan pengajaran bahasa. Dalam garis besar dua objektif itu dapat dipikirkan sebagai berikut:
1. Kita dapat menyelenggarakan suatu system yang lebih bersifat dichotomis terkoondinir pada murid mengenai bahasa, sehingga unsur-unsur pokok bahasa terjadi proses kerokhanian yang sejajar yang melanjutkan kehidupan sendiri dengan cara yang sama seperti proses mental dan unsur-unsur pokok bahasa.
2. Pilihan dapat lanjutkan kepada suatu sistem dengan interferensi bahasa kedalam prosedur-prosedur kebahasaan serta mental khas bagi bahasa sepenuhnya menentukan, sehingga bahasa semata-mata berdasarkan atas sistem fonologi dan sintaksis.
Apabila kita konsekwen dengan apa yang dikemukakan di atas, maka dapat mengambil kesimpulan, bahwa apa yang kita namakan metode-metode tradisional yang paling digunakan sebagai dasar bahasanya, dipandang dari beberapa aspek telah memadahi bila kita sudah memilih interferensi. Tetapi jika memilih sistem diochotomi terkoodinir maka kemudian harus kita belokan dalam banyak lapangan.
Bahwa belajar suatu tidak begitu saja menghafal beberapa kata, dan komponen bahasa seperti fonem, frase, klausa, kata, kalimat dan wacana, tetapi belajar suatu bahsa itu berarti, bahwa murid harus memasuki alam keseluruhan bahasa yang baru dan rumit yang berarti keharuan untuk kegiatan yang dinamis. Untuk memahami belajar seorang murid kita perhatikan beberapa cara sejenak tugas otak murid yang lebih berat, tidak selalu sepenuhnya diperhatiakan oleh guru karena beberapa sebab, yaitu:
1. Guru-guru itu mungkin dapat menggunakan bahasa yang dipaparkan itu secara lancar berkat studi spesialisasi yang lama, jadi mereka telah belajar bahasa itu dalam keadaan yang istimewa yang mirip suasana belajar bahasa.
2. Guru-guru itu sering memiliki ilusi bahwa para murid dapat berbicra tanpa terlebih dahulu mendengarkan bahasa berjam-jam dengan lain tanpa lebih dahulu asimilasi sepenuhnya yang mendalam dan aktif dengan bahasa yang dianjurkan.
I. Faktor-faktor Penunjang Keefektifan Berbicara
Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Pendengar menerima informasi melalui rangkain nada, tekanan,dan penempatan persendian. Komuniikasi berlangsung secara tatap muka, ditambah dengan gerak tangan dan mimik wajah.
Tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan informasi dengan efektif, sebaiknya pembicara betul-betul memahami isi pembicaraannya, disamping itu juga harus dapat mengevaluasi efek komunikasinya terhadap pendengar. Jadi, bukan hanya apa yang akan dibicarakan, tetapi juga bagaimana cara mengemukakannya.
Untuk dapat menjadi pembicara yang baik, seorang pembicara selain harus memberikan kesan bahwa ia menguasai masalah yang dibicarakan, dia juga harus memperlihatkan keberanian dan kegairahannya dalam berbicara. Selain itu pembicara juga harus berbicara dengan jelas dan tepat. Dalam hal ini ada beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh pembicara untuk keefektifan berbicara, yaitu faktor-faktor kebahasaan dan faktor-faktor nonkebahasaan.
1. Faktor-faktor Kebahasaan
a. Ketepatan Ucapan
Seorang pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat, karena pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkan perhatian pendengar.
b. Penempatan Tekanan, Nada, Sendi, dan Durasi yang Sesuai
Kesesuaian tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai akan menambah daya tarik tersendiri dalam berbicara.
c. Pilihan kata (diksi)
Pilihan kata hendaknya tepat, jelas dan bervariasi.
d. Ketetapan Sasaran Pembicara
Seorang pembicara harus mampu menyusun kalimat efektif, kalimat yang mengenai sasaran sehingga mampu menimbulkan pengaruh, meninggalkan kesan, atau menimbulkan akibat.
2. Faktor-faktor Nonkebahasaan
a. Sikap yang wajar, tenangdan tidak kaku.
b. Pandangan harus diarahkan pada lawan bicara.
c. Kesediaan menghargai pendapat orang lain.
d. Gerak-gerik dan mimik yang tepat.
e. Kenyaringan suara juga sangat menentukan.
f. Kelancaran berbicara.
g. Relevansi atau penalaran.
h. Pengausaan topik.
J. Pengertian Kesalahan Berbahasa
Dalam bukunya yang berjudul “Common Error in Language Learning” H.V. George mengemukakan bahwa kesalahan berbahasa adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan (unwanted form) khususnya suatu bentuk tuturan yang tidak diinginkan oleh penyusun program dan guru pengajaran bahasa. Bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan adalah bentuk-bentuk tuturan yang menyimpang dari kaidah bahasa baku. Hal ini sesuai dengan pendapat Albert Valdman yang mengatakan bahwa yang pertama-tama harus dipikirkan sebelum mengadakan pembahasan tentang berbagai pendekatan dan analisis kesalahan berbahasa adalah menetapkan standar penyimpangan atau kesalahan. Sebagian besar guru bahasa Indonesia menggunakan kriteria ragam bahasa baku sebagai standar penyimpangan.
Pengertian kesalahan berbahasa dibahas juga oleh S. Piet Corder dalam bukunya yang berjudul Introducing Applied Linguistics. Dikemukakan oleh Corder bahwa yang dimaksud dengan kesalahan berbahasa adalah pelanggaran terhadap kode berbahasa. Pelanggaran ini bukan hanya bersifat fisik, melainkan juga merupakan tanda kurang sempurnanya pengetahuan dan penguasaan terhadap kode. Si pembelajar bahasa belum menginternalisasikan kaidah bahasa (kedua) yang dipelajarinya. Dikatakan oleh Corder bahwa baik penutur asli maupun bukan penutur asli sama-sama mempunyai kemugkinan berbuat kesalahan berbahasa. Berdasarkan berbagai pendapat tentang pengertian kesalahan berbahasa yang telah disebutkan di atas, dapatlah dikemukakan bahwa kesalahan berbahasa Indonesia adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan berbagai unit kebahasaan yang meliputi kata, kalimat, paragraf, yang menyimpang dari sistem kaidah bahasa Indonesia baku, serta pemakaian ejaan dan tanda baca yang menyimpang dari sistem ejaan dan tanda baca yang telah ditetapkan sebagaimana dinyatakan dalam buku Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Adapun sistem kaidah bahasa Indonesia yang digunakan sebagai standar acuan atau kriteria untuk menentukan suatu bentuk tuturan salah atau tidak adalah sistem kaidah bahasa baku. Kodifikasi kaidah bahasa baku dapat kita lihat dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Karakteristik bahasa baku antara lain adalah sebagai berikut.
§ Penggunaan konjungsi-konjungsi seperti bahwa, karena secara konsisten dan eksplisit.
1. Penggunaan partikel kah dan pun secara konsisten.
1. Penggunaan fungsi gramatikal secara eksplisit dan konsisten.
2. Penggunaan meN- dan ber- secara konsisten.
3. Penggunaan pola frase verbal aspek+agen+verba secara konsisten, misalnya Surat ini sudah saya baca. Bandingkan dengan bentuk yang sudah baku Surat ini saya sudah baca.
4. Penggunaan konstruksi yang sintetis, misalnya mobilnya bandingkan dengan bentuk yang tidak baku dia punya mobil, membersiihkan bandingkan dengan bentuk tidak baku bikin bersih, memberi tahu bandingkan dengan bentuk tidak baku kasih tahu.
5. Terbatasnya jumlah unsur leksikal dan gramatikal dari dialek-dialek regional dan bahasa-bahasa daerah yang masih dianggap asing.
6. Pengunaan popularitas tutur sapa yang konsisten, misalnya saya-tuan, saya-saudara.
7. Pengunaan unsur-unsur leksikal yang baku, misalnya:
Leksikal baku Leksikal tidak baku
mengapa kenapa
begini gini
berkata bilang
Kesalahan berbahasa tidak sama dengan kekeliruan berbahasa. Keduanya memang merupakan pemakaian bentuk-bentuk tuturan yang menyimpang. Kesalahan berbahasa terjadi secara sistematis kerena belum dikuasainya sistem kaidah bahasa yang bersangkutan. Kekeliruan berbahasa tidak terjadi secara sistematis, bukan terjadi karena belum dikuasainya sistem kaidah bahasa yang bersangkutan, melainkan karena kegagalan merealisasikan sistem kaidah bahasa yang sebenarnya sudah dikuasai.
Kekeliruan pada umumnya disebabkan oleh faktor performansi. Keterbatasan dalam mengingat sesuatu atau kelupaan menyebabkan kekeliruan dalam melaflakan bunyi bahasa, kata, urutan kata, tekanan kata, atau kalimat, dan sebagainya. Kekeliruan ini bersifat acak, artinya dapat terjadi pada berbaga tataran linguistik. Kekeliruan biasanya dapat diperbaiki sendiri oleh siswa bila yang bersangkutan, lebih mawas diri, lebih sadar atau memusatkan perhatian. Siswa sebenarnya telah mengetahui sistem linguistik bahasa yang digunakan, tetapi karena suatu hal dia lupa akan sistem tersebut. Kelupaan itu biasanya tidak lama.
Sebaliknya, kesalahan disebabkan oleh faktor kompetensi, artinya siswa memang belum memahami sistem linguistik bahasa yang digunakannya. Kesalahan biasanya terjadi secara konsisten dan sistematis. Kesalahan itu dapat berlangsung lama apabila tidak diperbaiki. Perbaikan biasanya dilakukan oleh guru, misalnya melalui remedial, latihan, praktik, dsb. Sering dikatakan bahwa kesalahan merupakan gambaran terhadap pemahaman siswa akan sistem bahasa yang sedang dipelajari olehnya. Bila tahap pemahaman siswa tentang sistem bahasa yang sedang dipelajari olehnya ternyata kurang, kesalahan berbahasa tentu sering terjadi.
§ Proses Terjadinya Kesalahan Berbahasa
Terjadinya kesalahan berbahasa di kalangan siswa yang sedang belajar bahasa terutama belajarar bahasa kedua, merupakan fenomena yang mendorong para ahli pengajaran bahasa untuk mempelajari kesalahan berbahasa. Dari studi tentang kesalahan berbahasa itu dapat diketahui bahwa proses terjadinya kesalahan berbahasa berhubngan erat dengan proses belajar bahasa. Kesalahan berbahasa merupakan gejala yang intern dengan proses belajar bahasa. Oleh karena itu, untuk memahami proses terjadinya kesalahan berbahasa, terutama di kalangan siswa yang sedang belajar bahasa, diperlukan pemahaman tentang konsep-konsep belajar bahasa.
Penguasaan bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa kedua diperoleh melalui proses belajar. Sebagian para ahli pengajaran bahasa membedakan antara proses penguasaan bahasa pertama dan penguasaan bahasa kedua. Proses penguasaan bahasa pertama bersifat ilmiah dan disebut pemerolehan bahasa (language acquisition). Proses penguasaan bahasa pertama ini berlangsung tanpa adanya suatu perencanaan terstruktur. Secara langsung anak-anak memperoleh bahasanya melalui kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Setiap ada yang normal secara fisik, psikis, dan sosiologis pasti mengalami proses pemerolehan bahasa pertama. Proses ini berlangsung tanpa disadari oleh anak. Anak juga tidaak menyadari motivasi apa yang mendorongnya berada dalam kondisi pemerolehan bahasa pertama itu.
Selanjutnya, proses penguasaan bahasa kedua terjadi setelah seseoang menguasai bahasa pertama dan disebut belajar bahasa (language learning). Proses belajar bahasa kedua pada umumnya berlangsung secara terstruktur di sekolah melalui perencanaan program kegiatan belajar mengajar yang sengaja disusun untuk keperluan itu. Dalam proses ini, si pembelajar menyadari bahwa dia sedang belajar bahasa. Dia juga menyadari motivasi apa yang mendorongnya untuk menguasai bahasa kedua itu.
Perbedaan antara pemerolehan bahasa (language acquisition) dan pemerolehan bahasa (language learning) berdasarkan ada atau tidaknya kesadaran pembelajar terhadap apa yang dilakukan sebenarnya bukanlah perbedaan yang sangat mendasar dan diskrit. Dalam kenyataannya, baik dalam proses penguasaan bahasa pertama maupun bahasa kedua, si pembelajar menyadari usahanya untuk mempelajari bahasa. Perbedaan tingkat perbedaan ini bersifat relatif saja. Demikian pula perbedaan penguasaan bahasa pertama dan bahasa kedua yang didasarkan pada terstruktur atau tidaknya proses belajar bahasa juga tidak selalu benar. Proses belajar bahasa juga bisa berlangsung secara alamiah. Artinya, si pembelajar belajar langsung bahasa kedua melalui kehidupan sehari-hari dalam lingkungan masyarakat.
Proses belajar bahasa bersifat kompleks. Proses ini sangat berkaitan dengan aspek fisik dan psikis pembelajar. Sehubungan dengan aspek psikis, belajar bahasa adalah suatu proses mental yang didalamnya berisi aktivitas psikologis, sedangkan sehubungan dengan aspek fisik, belajar bahasa berkaitan dengan perkembangan kematangan berbagai orrgan wicara. Proses terjadinya kesalahan berbahasa berkaitan erat baik dengan aspek psikis maupun dengan aspek fisik.
Ada dua aliran psikologis yang besar pengaruhnya terhadap teori belajar bahasa, yaitu psikologi kognitif dan psikologi behaviorisme. Menurut pandangan ahli psikologi kognitif, jika manusia bersifat aktif dalam mengakumulasi dan menguasai pengetahuan dan mengorganisasikannya sehingga merupakan bagian dari keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia.
Menurut para ahli psikologi behaviorisme, proses belajar bahasa adalah proses yang bersifat empiris dalam jalinan hubungan antara stimulus daan respon. Belajar bahasa itu tdak lain adalah belajar menguasai suatu jenis kebiasaan. Penguasaan ini akan dapat dicapai dengan memberikan latihan berulang-ulang berbagai maa pola kaidah bahasa. Oleh karena itu, pengajaran bahasa berdasarkan aliran behaviorisme ini sangat menekannkan pentingnya latihan-latihan secara intensif untuk menguasai bahasa. Dalam pelajaran bahasa, murid-murid “dipaksa” selama berjam-jam mengahafalkan dialog, laitahan-latihan menguasai pola serta mempelajari semua jenis generalisasi gramatika. Anggapan yang menopang pentingnya diberikan latihan-latihan pola serta menghafalkan dialog tersebut dapat kita pahami dalam ungkapan yang terkenal, yaitu practice makes perfect.
§ Beberapa Pandangan terhadap Kesalahan Berbahasa
Kesalahan berbahasa adalah suatu peristiwa yang bersifat inheren dalam setiap pemakaian bahasa baik secara lisan maupun tulis. Baik orang dewasa yang telah menguasai bahaasanya, anak-anak, maupun orang asing yang sedang mempelajari suatu bahasa dapat melakukan kesalahan-kesalahan berbahasa pada waktu mereka menggunakan bahasanya. Namun, jenis serta frekuensi kesalahan berbahasa pada anak-anak serta orang asing yang sedang mempelajari suatu bahasa berbeda dengan orang dewasa yang telah menguasai bahasanya. Perbedaan ini bersumber dari perbedaan penguasaan kaidah-kaidah gramatika (grammatical competence) yang pada gilirannya jga menimbulkan perbedaan realisasi pemakaian bahasa yag dilakukannya (performance). Di samping itu, perbedaan itu juga bersumber dari penguasaan untuk menghasilkan atau menyusun tuturan yang sesuai dengan konteks komunikasi (comunicative competence).
Salah satu hambatan dalam proses komunikasi adalah kurangnya keterampilan berbahasa. Wujud kurangnya keterampilan berbahasa itu antara lain disebabkan oleh kesalahan-kesalahan berbahasa. Kesalahan-kesalahan berbahasa ini menyebabkan gangguan terhadap peristiwa komunikasi, kecuali dalam hal pemakaian bahasa secara khusus seperti dalam lawak, jenis iklan tertentu, serta dalam puisi. Dalam pemakaian bahasa secara khusus itu, kadang-kadang kesalahan berbahasa sengaja dibuat atau disadari oleh penutur untuk mencapa efek tertentu sepeti lucu, menarik perhatian dan mendorong berpikir lebih intens.
Dalam dunia pengajaran bahasa perhatian terhadap kesalahan berbahasa baru berkembang selama waktu yang relatif belum lama. Buku-buku pengajaran bahasa, terutama pengajaran bahasa Inggris, telah banyak disusun, tetapi hanya sedikit perhatian penulis terhadap kesalahan berbahasa. Walaupun perhatian terhadap kesalahan berbahasa belum begitu banyak, tetapi pikiran-pikiran tentang kaitan antara kesalahan berbahasa dengan proses belajar bahasa dalam waktu yang relatif singkat telah banyak mengalami perkembangan. Perkembangan pemikiran yang berkenaan dengan hubungan antara kesalahan berbahasa dengan proses belajar bahasa tersebut sejalan dengan tumbuhnya pandangan baru dalam pengajaran bahasa pada umumnya.
Para pengajur pendekatan audiolingual memandang kesalahan berbahasa dengan perspektif yang bersifat puritanistis. Nelson Brooks, misalnya, memandang kesalahan berbahasa sebagai dosa yang harus dihindari dan pegaruhnya harus dibatasi, tetapi kehadirannya tidak dapat dielakkan. Dikemukakannya pula metode untuk menghindari terjadi kesalahan dalam berbahasa adalah dengan melatihkan kepada si pembelajar model-model yang benar dalam waktu yang cukup lama. Untuk mengatasi kesalahan berbahasa, cara yang prinsipil adalah memperpendek jarak waktu antara respon yang tidak tepat (kesalahan berbahasa tersebut) dengan bentuk yang benar.
Sehubungan dengan perkembangan yang terakkhir itu, pandangan terhadap kesalahan berbahasa juga mengalami perubahan. Kesalahan berbahasa tidak lagi dipandang sebagai dosa, tetapi sebagai hal yang wajar. Hal ini dapat dilihat dalam kenyataan pada proses penguasaan bahasa pertama pada anak-anak d mana pun juga. Dalam proses penguasaan bahasa pertama itu, anak-anak pasti membuat kesalahan berbahasa, teapi kesalahan tersebut diterima oleh orang tua mereka (orang dewasa di lingkungannya).
Aliran behaviorisme memandang kesalahan berbahasa sebagai suatu yang semata-mata harus dihindari dan diusahakan menghilangkan pengaruhnya. Pembelajar bahasa tidak boleh menggunakan kesalahan berbahasa. Apabila terjadi kesalahan berbahasa, kesalahan itu harus secepatnya diperbaiki agar tidak menjadi kebiasaan. Apabila suatu kesalahan berbahasa terlanjur menjadi kebiasaan, perbaikan kesalahan itu akan sangat sulit dilakukan.
Aliran psikologi kognitif memandang kesalahan berbahasa sebagai suatu yang wajar. Hal ini dapat dilihat dalam kenyataan pada proses penguasaan bahasa pertama pada anak-anak di mana pun. Dala proses penguasaan bahasa pertama itu, anak-anak membuat kesalahan berbahasa, tetapi kesalahan berbahasa itu diterima oleh orang tua mereka serta orang dewasa di lingkungannya sebagai suatu yang wajara terjadi
§ Tujuan dan Manfaat Analisis Kesalahan Berbahasa
- Tujuan Analisis Kesalahan
Analisis kesalahan merupakan usaha membahas kebutuhan-kebutuhan praktis guru kelas. Secara tradisional, analisis kesalalahan bertujuan menganalisis kesalahan-kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh pembelajar bahasa kedua. Hasil analisis ini diharapkan dapat membantu guru dalam hal menentukan urutan bahan pengajaran, memutuskan pemberian penekanan, penjelasan dan praktik yang diperlukan, memberikan remidi dan latihan-latihan, dan memilih butir-butir bahasa kedua untuk keperluan tes profisiensi pembelajar (Sudiana, 1990:103).
- Tujuan dan Metode Analisis Kesalahan
Menganalisis kesalahan berbahasa yang dibuat oleh siswa jelas memberikan manfaat tertentu karena pemahaman kesalahan itu merupakan umpan balik yang sangat berharga pengevaluasian dan perencanaan penyesuaian materi dan strategi pengajaraan di kelas. Analisis kesalahan berbahasa antara lain bertujuan untuk:
a. menentukan urutan penyajian butir-butir yang diajarkan dalam kelas dan buku teksmisalnya urutan mudah sukar,
b. menentukan urutan jenjang relatif penekanan, penjelasan, dan latihan berbagai butir bahan yang diajarkan,
c. merencanakan latihan dan pengajaran remedial,
d. memilih butir-butir bagi penngujian kemahiran siswa (Tarigan, 1990: 69).
§ Data Kebahasaan Analisis Kesalahan Berbahasa
Yang menjadi data utama dalam analisis kesalahan berbahasa adalah wacana yang dibuat oleh pembelajar, baik secara lisan maupun tertulis. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik mengambil data mempengaruhi hasilnya baik jenis kesalahan yang ditemukan maupun urutan unsur-unsur bahasa yang menjadi titik perhatian analisis. Oleh karena itu, dalam memilih jenis data untuk diananlisis kita perlu mempertimbangkan kemungkinan kemungkinan hasil yang akan diperoleh.
Data untuk analis kesalahan berbahasa bisa diambil dari wacana yang diproduksi oleh pembelajar tanpa alat pemancing dan pembelajar tidak tahu bahwa wacana yang dibuat olehnya akan dianalisis. Data jenis ini disebut data spontan (spontaneous data), misalnya percakapan atau pidatoyang direkam atau karangan tertulis (surat, uraian tentang suatu hal, makalah, tesis, dsb). Jenis kedua adalah data pancingan (elicitated data) yaitu data yang dikumpulkan dari subjek dengan alat pemancing seperti tes, petunjuk mengarang, dan gambar. Data jenis ini dikumpulkan atau dipancing karena sengaja akan dianalisis. Data inibisa bervariasi. Hal ini tergantung pada jenis alat pemancingnya dan titik perhatian subjek ketika melakukan tugas.
Dari segi alat pemancingnya, ada dua jenis data kesalahan berbahasa, yaitu data tak terstruktur dan data terstruktur. Data tak terstruktur adalah data yang diperoleh dengan cara menyuruh subjek berbicara atau mengarang tanpa petunjuk yang ketat. Dalam data itu, jenis kesalahan atau frekuensi masing-masing unsur kesilapan tidak dikontrol. Kemunculannya dalam data semata-mata karena kebetulan, tidak menurut kehendak pemancing data. Dalam data terstruktur, unsur-unsur bahasa yang menjadi fokus perhatian peneliti direncanakan kemunculannya baik jenis maupun frekuensinya. Misalnya, subjek diminta menjawab pertanyaan “What are this?” dengan berpedoman pada tiga buah gambar rumah. Harapan peneliti, subjek akan memunculkan kata houses.
§ Prosedur Analisis Kesalahan Berbahasa
Prosedur analisis kesalahan berbahasa terdiri atas empat langkah, yaitu identifikasi, deskripsi, penjelasan, dan kuantifikasi. Tiga langkah pertama saling berkaitan dan langlah terakhir bersifat statistik.
- Identifikasi Kesalahan.
Dalam mengidentifikasi kesalahan berbahasa yang dibuat oleh pembelajar, tidak selalu apa yang terbaca secara ekspilisit (baik melalui tulisan maupun hasil transkripsi wacana lisan) menunjukkan kesalalahan. Ada bentuk dalam bahasa antara pembelajaran yang sempurna, dalam arti sesuai dengan aturan dalam bahasa sasaran, tetapi ternyata bentuk tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pembicara.
Jadi, pada tahap identifikasi kesalahan, yang penting adalah melakukan interpretasi terhadap yang dimaksud oleh pembelajar. Interpretasi itu dapat dilakukan dengan melihat konteks munculnya wacana itu atau dengan melakukan dialog dengan pembelajar. Konteks itu dapat pula dilihat secara kecil yang meliputi sebagian dari kalimat-kalimat yang mendahului atau mengikuti kalimat atau frasa yang sedang dianalisis itu, atau dengan melihat isi keseluruhan wacana itu. Bisa jadi dalam kasus pembelajar yang belum menguasai suatu struktur dengan sempurna itu menguji hipotesisnya (tentang bentuk yang betul). Dari sekian ujiannya itu, satu bentuk benar dan bentuk-bentuk yang lain salah.
- Deskripsi Kesalahan.
Kegiatan utama dalam melakukan deskripsi kesalahan adalah membandingkan wacana pembelajar dengan rekonstruksi yang sahih. Pada tahap ini, langkah yang diikuti mirip dengan analisis kontarstif. Dari perbandingan kedua bentuk itu (bentuk dari bahasa anatara pembelajar dan bentuk yang sempurna dalam bahasa sasaran yang dimaksud pembelajar dapat ditemukan pola-pola kesilapan.
Tujuan utama langkah ini adalah memberikan keterangna tentang kesilapan itu secara linguistik. Oleh karena itu, dalam membuat perbandingan dan deskripsi, perlulah diterapkan suatu model tata bahasa tertentu yang dipakai membuat deskripsi itu, misalnya Tata Bahasa Struktural atau Tata Bahasa Transformasi Generatif. Adapun pola-pola kesalahan itu dapat diklasifikasikan menurut tataran dan jenis perubahan dari bentuk dalam bahasa sumber ke bahasa sasaran. Tataran bahasa bisa meliputi fonologi, morfologi, dan sintaksis.
- Penjelasan Kesalahan.
Tahap deskripsi kesalahan menekankan proses kesalahan dari segi linguistik, sedangkan tahap penjelasan memeberikan deskripsi tentang mengapa kesilapan itu terjadi dan bagaimana bisa terjadi. Dengan kata lain, pada tahap ini kita mencari sumber kesalahan itu dan proses terjadinya kesalahan dari sumbernya sampai dengan kemunculannya dalam bahasa sumber.
- Kuantifikasi Kesalahan.
Kuantifikasi kesalahan dilakukan dengan menghitung kemunculan masing-masing kesalahan berbahasa dan kemudian bisa pula dihitung persentase kesalahan berbahasa itu. Langkah terakhir ini tidak wajib dikerjakan, tetapi diperlukan dalam menarik kesimpulan dalam melakukan perbandingan. Perbandingan dapat dilakukan antara frekuensi jenis kesalahan dalam satu kasus (sampel) atau membandingkan dengan sampel lain. Oleh karena itu, langkah ini berkaitan erat dengan langkah deskripsi kesalahan.
K. Penyebab Berbahasa Yang Baik Dan Benar Tidak Terdengar
a) Sumber kesalahan Berbahasa
Pada tahap awal, sebagai guru mungkin hanya dapat menebak-nebak penyebab kesalahan berbahasa siswa. Untuk dapat menjawabnya dengan tepat, mungkin harus mengumpulkan data kesalahan berbahasa siswa, baik dari data lisan maupun dari data tertulis. Dengan data tersebut, dapat mengidentifikasi sumber kesalahan berbahasa Indonesia siswa sehingga dapat menarik simpulan tentang dugaan sementara bagaimana aspek kognitif dan afektif siswa berhubungan dengan sistem kebahasaan dan dapat merumuskan proses belajar bahasa bagi siswa, khususnya bagi mereka yang belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua.
Melacak sumber kesalahan berbahasa sebenarnya bukan tugas yang ringan. Sesungguhnya ada ratusan sumber kesalahan berbahasa. Tetapi, tidak harus mengidentifikasi ratusan sumber kesalahan berbahasa tersebut karena dapat merangkum sumber kesalahan berbahasa tersebut dalam garis besarnya saja. Gambaran kasar tentang sumber kesalahan berbahasa itu benar-benar merupakan faktor yang signifikan bagi guru untuk memahami sistem pembelajaran bahasa siswa. Artinya, dengan mengetahui gejala-gejala yang muncul dalam bentuk kesalahan berbahasa, Anda dapat menyimpulkan bagaimana sebenarnya anak-anak itu belajar bahasa (Dulay, dkk., 1982).
Berdasarkan gambaran kasar tentang sumber kesalahan berbahasa itu dapat dilihat bahwa sumber kesalahan berbahasa itu meliputi (1) transfer interlingual dan (2) transfer intralingual (cf. Brown, 1980). Berikut ini Anda akan mempelajari tiap-tiap sumber kesalahan berbahasa tersebut.
- Transfer Interlingual
Tahap awal pembelajaran bahasa lazimnya ditandai oleh transfer interlingual, yakni pemindahan unsur-unsur bahasa pertama atau bahasa ibu ke dalam bahasa kedua atau bahasa yang sedang dipelajari siswa. Misalnya, murid Anda adalah seorang anak yang berbahasa ibu bahasa Jawa. Pada tahap awal pembelajaran anak itu akan tampak masuknya unsur-unsur bahasa pertamanya, yaitu bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Sistem yang sudah akrab itu digunakannya untuk membantu memperlancar proses komunikasi.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sumber kesalahan berbahasa anak dapat disebabkan oleh masuknya unsur-unsur bahasa pertama atau bahasa ibu ke dalam bahasa kedua, yakni bahasa Indonesia. Kesalahan berbahasa anak dapat dilacak dari bahasa pertama anak yang belajar bahasa Indonesia.
- Transfer Intralingual
Sumber kesalahan berbahasa dapat dilacak dari sistem bahasa kedua yang dipelajari oleh siswa. Jika siswa itu belajar bahasa Indonesia, sumber kesalahan berbahasanya dapat dilacak dari sistem atau kaidah-kaidah dalam bahasa Indonesia itu sendiri. Kaidah itu dapat meliputi kaidah tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat, kaidah leksikal, bahkan kaidah semantik. Berdasarkan hasil penelitian, tampak bahwa sumber kesalahan ini merupakan sumber kesalahan terbesar. Bahasa pertama atau bahasa ibu yang sering dituduh sebagai sumber kesalahan terbesar berbahasa kedua itu ternyata hanya menjadi faktor penyebab yang kecil saja, yakni kira-kira 13 persen; sedangkan selebihnya adalah sumber dari sistem bahasa kedua itu sendiri (Dulay, 1982).
b) Metodologi Analisis Kesalahan Berbahasa
Apa yang dimaksud dengan analisis kesalahan berbahasa dan apa tujuan yang akan dicapai oleh kehadiran topik tersebut, di bawah ini disajikan paparannya. Pengertian Analisis Kesalahan Berbahasa Pembelajaran bahasa pada dasarnya adalah proses mempelajari bahasa. Mempelajari sesuatu termasuk mempelajari bahasa tidak luput dari perbuatan kesalahan. Corder (dalam Ardiana, 1990:62) menguatkan pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa semua orang yang belajar bahasa pasti tidak luput dari berbuat kesalahan. Ingatlah bahwa kesalahan itu sumber inspirasi untuk menjadi benar. Studi mengenai kesalahan dalam hubungannya dengan pengajaran bahasa perlu digalakkan. Sebab, melalui kegiatan kajian kesalahan itu dapat diungkapkan berbagai hal berkaitan dengan kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh siswa. Apabila kesalahan-kesalahan itu telah diketahui, dapat digunakan sebagai umpan balik dalam penyempurnaan pengajaran bahasa terutama dalam pengajaran remedial.
Hubungan antara pengajaran bahasa dan kesalahan berbahasa itu sangat erat. Bahkan Tarigan (1990:67) mengatakan bahwa hubungan keduanya ibarat air dengan ikan. Sebagaimana ikan hanya dapat hidup dan berada di dalam air, begitu juga kesalahan berbahasa sering terjadi dalam pengajaran bahasa.
Kesalahan berbahasa itu tidak hanya dibuat oleh siswa yang mempelajari B2 (Bahasa yang dipelajari siswa), tetapi juga dibuat oleh siswa yang mempelajari Bl (Bahasa Ibu). Pengalaman para guru di lapangan menyatakan bahwa kesalahan berbahasa yang dibuat oleh siswa seringkali di luar dugaan. Artinya kesalahan itu ada yang sesuai dengan prakiraan tetapi banyak juga di luar prakiraan guru. Ada kesalahan yang disebabkan oleh interferensi, tetapi ada pula yang disebabkan oleh penyamarataan. Para pakar linguistik dan para guru bahasa sependapat bahwa kesalahan berbahasa itu mengganggu pencapaian tujuan pengajaran bahasa. Oleh sebab itu, kesalahan berbahasa yang sering dibuat siswa harus dikurangi atau dihapuskan.
Kesalahan berbahasa itu tidak hanya dibuat oleh siswa yang mempelajari B2 (Bahasa yang dipelajari siswa), tetapi juga dibuat oleh siswa yang mempelajari Bl (Bahasa Ibu). Pengalaman para guru di lapangan menyatakan bahwa kesalahan berbahasa yang dibuat oleh siswa seringkali di luar dugaan. Artinya kesalahan itu ada yang sesuai dengan prakiraan tetapi banyak juga di luar prakiraan guru. Ada kesalahan yang disebabkan oleh interferensi, tetapi ada pula yang disebabkan oleh penyamarataan. Para pakar linguistik dan para guru bahasa sependapat bahwa kesalahan berbahasa itu mengganggu pencapaian tujuan pengajaran bahasa. Oleh sebab itu, kesalahan berbahasa yang sering dibuat siswa harus dikurangi atau dihapuskan.
Analisis kesalahan berbahasa merupakan suatu proses yang didasarkan pada analisis kesalahan siswa atau seseorang yang sedang mempelajari sesuatu, misalnya bahasa. Bahasa yang dimaksud bisa bahasa ibu (misalnya bahasa daerah), bahasa nasional (misalnya bahasa Indonesia), bisa juga bahasa asing.
Kemampuan menguasai bahasa secara baik hanya dapat dilakukan seseorang dengan cara mempelajarinya. Belajar diartikan secara formal di sekolah-sekolah atau kursus-kursus, atau dilaksanakan dengan cara terjun langsung ke masyarakat pemakai bahasa yang dipelajari tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan mempelajari adalah berlatih berulang-ulang dengan pembetulan di sana-sini. Proses pembelajaran ini tentunya menggunakan strategi yang tepat agar dapat memperoleh hasil yang positif.
Seorang guru dalam mengajarkan bahasa sering menemukan kesalahan-kesalahan yang dibuat para siswanya. Kesalahan-kesalahan itu dapat menyangkut keterampilan berbahasa seperti pada menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Tetapi, dapat pula berhubungan dengan linguistik, seperti pada tata bunyi, tata bentuk kata, dan tata kalimat. Sehubungan dengan ini, telah banyak usaha guru untuk mengatasi kasalahan-kesalahan berbahasa siswa agar proses belajar-mengajar bahasa berhasil dengan baik.
Pada umumnya pemakai bahasa dalam berbahasa cenderung menggunakan jalan pikirannya tanpa mempertimbangkan aturan-aturan yang ada dalam bahasa. Tetapi, di samping itu ada juga pembelajar bahasa yang memperhatikan kaidah-kaidah atau aturan bahasa yang berlaku sehingga menghasilkan konsep sesuai dengan struktur bahasa yang dipelajari.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa pengkajian terhadap segala aspek kesalahan itu disebut analisis kesalahan. Agar dapat menganalisis kesalahan berbahasa secara baik diperlukan langkah-langkah. Langkah-langkah yang dimaksud sebagai berikut.
1. pengumpulan data
2. pengidentifikasian kesalahan
3. penjelasan kesalahan
4. pengklasifikasian kesalahan
5. pengevaluasian kesalahan.
Atas dasar langkah-langkah di atas dapat dikatakan biahwa yang dimaksud dengan analisis kesalahan berbahasa adalah suatu proses kerja yang digunakan oleh para guru dan peneliti bahasa dengan langkah-langkah pengumpulan data, pengidentifikasian kesalahan yang terdapat di dalam data, penjelasan kesalahan tersebut, pengklasifikasian kesalahan itu berdasarkan penyebabnya, serta pengevaluasian taraf keseriusan kesalahan itu (Tarigan, 1990:68).
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa kesalahan disebabkan oleh kemampuan pemahaman si pembelajar bahasa (siswa). Artinya, siswa memang belum memahami sistem bahasa yang digunakan. Kesalahan biasanya terjadi secara sistematis. Kesalahan jenis ini dapat berlangsung lama bila tidak diperbaiki. Perbaikannya biasanya dilakukan oleh guru. Misalnya, melalui pengajaran remedial, latihan, praktik, dan sebagainya. Kadangkala sering dikatakan bahwa kesalahan merupakan gambaran terhadap pemahaman siswa akan sistem bahasa yang sedang dipelajarinya. Bila tahap pemahaman siswa akan sistem bahasa yang dipelajari ternyata kurang, kesalahan akan sering terjadi. Kesalahan akan berkurang bila tahap pemahamannya semakin baik.
Tujuan dan Metodologi Analisis Kesalahan Berbahasa
Setiap kegiatan itu pasti ada tujuan, demikian juga kegiatan analisis kesalahan. Menganalisis kesalahan berbahasa yang dibuat oleh si pembelajar bahasa jelas dapat memberikan manfaat tertentu, karena pemahaman terhadap kesalahan itu merupakan umpan balik yang berguna bagi pengevaluasian dan perencanaan penyusunan materi dan strategi pengajaran bahasa di kelas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa analisis kesalahan bertujuan untuk:
Setiap kegiatan itu pasti ada tujuan, demikian juga kegiatan analisis kesalahan. Menganalisis kesalahan berbahasa yang dibuat oleh si pembelajar bahasa jelas dapat memberikan manfaat tertentu, karena pemahaman terhadap kesalahan itu merupakan umpan balik yang berguna bagi pengevaluasian dan perencanaan penyusunan materi dan strategi pengajaran bahasa di kelas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa analisis kesalahan bertujuan untuk:
1. menentukan urutan penyajian butir-butir yang diajarkan dalam kelas dan buku teks, misalnya urutan dari yang mudah ke yang sukar, dari sederhana ke yang kompleks, dan seterusnya;
2. menentukan jenjang penekanan, penjelasan, dan pelatihan berbagai butir bahan yang diajarkan;
3. merencanakan pelatihan dan pengajaran remedial;
4. memilih butir-butir bagi pengujian kemahiran siswa (Sridhar dalam Tarigan, 1990:69).
Dahulu tujuan analisis kesalahan itu bersifat aplikatif, artinya memperbaiki dan mengurangi kesalahan berbahasa para siswa. Tujuan semacam ini ternyata mengabaikan hal yang penting, yaitu penyusunan atau pengembangan teori pembelajaran mengenai performansi siswa. Padahal, tujuan analis kesalahan berbahasa tidak hanya bersifat aplikatif, tetapi juga bersifat teoretis.
L. Cara Menggunakan Bahasa Yang Baik Dan Benar Tidak Diterapkan
Banyak orang kurang menyetujui pemakaian bahasa “baku” karena mereka kurang memahami makna istilah itu. Mereka mengira bahasa yang baku selalu bersifat kaku, tidak lazim digunakan sehari-hari, atau bahasa yang hanya terdapat di buku. Mereka berpendirian bahwa kita cukup menggunakan bahasa yang komunikatif, maksudnya mudah dipahami. Mereka beranggapan bahwa penggunaan ragam baku mengakibatkan bahasa yang kurang komunikatif dan sulit dipahami. Pemahaman semacam ini harus diluruskan. Keterpautan bahasa baku dengan materi di media massa ialah bahwa ragam ini yang paling tepat digunakan supaya bahasa Indonesia berkembang dan dapat menjadi bahasa iptek, bahasa sosial, atau pun bahasa pergaulan yang moderen. Bahasa yang baku tidak akan menimbulkan ketaksaan pada pemahaman pembacanya. Ragam bahasa baku akan menuntun pembacanya ke arah cara berpikir yang bernalar, jernih, dan masuk akal. Bahasa Inggris, dan bahasa-bahasa lain di Eropa, bisa menjadi bahasa dunia dan bahasa komunikasi dalam ilmu pengetahuan karena tingginya sifat kebakuan bahasa-bahasa tersebut.
Di samping itu, bahasa baku dapat menuntun baik pembaca maupun penulisnya ke arah penggunaan bahasa yang efisien dan efektif. Bahasa yg efisien ialah bahasa yg mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku dengan mempertimbangkan kehematan kata dan ungkapan. Bahasa yang efektif ialah bahasa yang mencapai sasaran yang dimaksudkan (Moeliono, 2002).
Ada beberapa ciri yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan kebakuan kalimat, antara lain:
- Pelesapan imbuhan, misalnya “Kita harus hati-hati dalam menentukan sample penelitian ini” (seharusnya “berhati-hati”).
- Pemborosan kata yang menyebabkan kerancuan atau bahkan kesalahan struktur kalimat, misalnya “Dalam rapat pimpinan kemarin memutuskan susunan pengurus baru” (kata dalam dapat dibuang).
- Penggunaan kata yang tidak baku, termasuk penggunaan kosakata bahasa daerah yang belum dibakukan. Contoh, “Percobaan yang dilakukan cuma menemukan sedikit temuan” (Cuma diganti hanya).
- Penggunaan kata hubung yang tidak tepat, termasuk konjungsi ganda, misalnya ”Meskipun beberapa ruang sedang diperbaiki, tetapi kegiatan sekolah berjalan terus.” (konjungsi tetapi sebaiknya dihilangkan karena sudah ada konjungsi meskipun).
- Kesalahan ejaan, termasuk penggunaan tanda baca.
- Pelesapan salah satu unsur kalimat, misalnya ”Setelah dibahas secara mendalam, peserta rapat menerima usul tersebut” (subjek anak kalimat ‘usul tersebut’ tidak boleh dilesapkan).
Buku Sabarianto (2001) dalam daftar pustaka di bawah memuat beberapa contoh tentang penggunaan bahasa Indonesia baku.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah masalah baku dan tidak baku dibicarakan, perlu pula bahasa yang baik dan yang benar dibicarakan. Penentuan atau kriteria bahasa Indonesia yang baik dan yang benar itu tidak jauh berbeda dari apa yang kita katakan sebagai bahasa baku. Kebakuan suatu kata sudah menunjukan masalah “benar” suatu kata itu. Walaupun demikian, masalah “baik” tentu tidak sampai pada sifat kebakuan suatu kalimat, tapi sifat efektifnya suatu kalimat.
Pengertian benar pada suatu kata atau suatu kalimat adalah pandangan yang di arahkan dari segi kaidah bahasa. Sebuah kalimat atau sebuah pembentukan kata dianggap benar apabila betuk itu mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku.
Pengertian baik pada suatu kata (bentukan) atau kalimat adalah pandangan yang diarahkan dari pilihan kata (diksi). Dalam suatu pertemuan kita dapat memakai kata yang sesuai dengan pertemuan itu sehingga kata-kata yang keluar atau dituliskan itu tidak akan menimbulkan nilai rasa yang tidak pada tempatnya. Pemilihan kata yang akan dipergunakan dalam suatu untaian kalimat sangat berpengaruh terhadap makna kalimat yang dipaparkan itu.
Banyak orang kurang menyetujui pemakaian bahasa “baku” karena mereka kurang memahami makna istilah itu. Mereka mengira bahasa yang baku selalu bersifat kaku, tidak lazim digunakan sehari-hari, atau bahasa yang hanya terdapat di buku. Mereka berpendirian bahwa kita cukup menggunakan bahasa yang komunikatif, maksudnya mudah dipahami. Mereka beranggapan bahwa penggunaan ragam baku mengakibatkan bahasa yang kurang komunikatif dan sulit dipahami. Pemahaman semacam ini harus diluruskan. Keterpautan bahasa baku dengan materi di media massa ialah bahwa ragam ini yang paling tepat digunakan supaya bahasa Indonesia berkembang dan dapat menjadi bahasa iptek, bahasa sosial, atau pun bahasa pergaulan yang moderen. Bahasa yang baku tidak akan menimbulkan ketaksaan pada pemahaman pembacanya. Ragam bahasa baku akan menuntun pembacanya ke arah cara berpikir yang bernalar, jernih, dan masuk akal.
Sebagai kesimpulan, yang dimaksud dengan bahasa yang benar adalah bahasa yang menerapkan kaidah yang konsisten, sedangkan yang dimaksud dengan bahasa yang baik adalah bahasa yang mempunyai nilai rasa yang tepat dan sesuai dengan situasi pemakaiannya.
B. Saran
Sebagai bangsa Indonesia kita harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, sebagai ciri khas warga negara Indonesia. Jika kita menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar atau dalam istilahnya bahasa baku, kita dapat sudah mencontohkan kepada keluargga atau teman kita, sehingga bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak hilang dikalangan masyarakat. Untuk mewariskan bahasa yang baik dan benar harus di terapkan sejak dini, misalkan pada anak-anak yang baru belajar berbicara, itu lebih efesien untuk mempelajarinya.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, E. Zaenal dan S. Amran Tasai, 2009, Cermat Berbahasa Indonesia, Jakarta: Akademi Presindo.
Arsjad, Maigar G. dan Mukti U. S, 1988, Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia, Jakarta: Erlangga
Chaer, Abdul, 2003, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina, 2004, Sosiolinguistik, Jakarta: Rineka Cipta.
Wojowasito, S, 1976, Perkembangan Ilmu Bahasa (Linguistik) Abad 20, Bandung: Shinta Dharma.