Minggu, 27 Mei 2012

makalah kritik sastra


BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar belakang
Kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra. secara singkat, kritik sastra dapat didefinisikan sebagai hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. Seorang pembaca sastra dapat membuat kritik sastra yang baik apabila dia betul-betul menaruh minat pada sastra, terlatih kepekaan citanya, dan mendalami serta menilai tinggi pengalaman manusiawinya. Yang dimaksud dengan mendalami serta menilai tinggi pengalaman manusiawi adalah menunjukan kerelaan psikologinya untuk menyelami dunia karya sastra, kemampuan untuk membeda-bedakan pengalaman secara mendasar, dan kejernihan budi untuk menentukan macam-macam nilai.
Mengingat bahwa tradisi kritik sastra di Indonesia masih sangat muda lebih dari sastra Indonesia yang usianya belum mencapai satu abad, masih banyak persoalan tentang kritik sastra yang harus dipelajari dan dialami oleh peneliti sastra, agar sumbangannya dapat sesuai dengan hakikat dan tujuan dari kritik sastra. sehubungan dengan ini kiranya pantas bahasa Indonesia masih sangat terbatas hingga banyak dari persoalan-persoalan tersebut dalam menguasai bahasa.  

B.       Tujuan
Kritik sastra sebagai penilaian terhadap sebuah karya sastra tidak hanya menilai dari bentuk, isi, dan makna, melainkan bagaimana proses pembuatan karya sastra dengan psikologi pengarang yang menghasilkan sebuah karya. Tujuan psikologi dalam kritik sastra adalah untuk menilai secara kritis melalui pemikiran-pemikiran yang jernih supaya dalam mengkritik dapat secara logis dan akurat dalam tujuan sastra yang dikritiknya.



BAB II
PEMBAHASAN


 
A.      Pengertian Psikologi
Secara etimologi kata psikologi berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu psyche dan logos. Kata psyhe berarti “jiwa, roh, atau sukma”, sedangkan kata logos berarti “ilmu”. Jadi psikologi secara harfifah berarti” ilmu jiwa”, atau ilmu yang objek kajiannya adalah jiwa. Dulu ketika psikologi masih berada atau merupakan bagian dari ilmu filsafat, definisi bahwa psikologi adalah ilmu yang pengkaji jiwa masih bisa dipertahankan. Dalam kepustakaan kita pada tahun lima puluhan pun nama ilmu lazim digunakan sebagai padanan kata psikologi. Kini istilah ilmu jiwa tidak digunakan lagi karena bidang ilmu ini memang tidak meneliti jiwa atau sukma sehingga istilah itu kurang tepat.
Jiwa itu bersifat abstrak, sehingga tidak dapat diamati secara empiris, padahal objek kajian  setiap ilmu dapat diobservasi secara indrawi. Dalam hal ini, jiwa, atau keadaan jiwa hanya bisa diamati melalui gejala-gejalanya seperti orang yang sedih akan berlaku murung dan orang yang gembira akan gerak-geriknya yang riang. Namun secara tradisional  manusia. Caranya adalah mengkaji hakikat rangsangan, hakikat reaksi terhadap rangsangan dan mengkaji hakikat proses-proses akal yang berlaku sebelum reaksi terjadi. Para ahli psikolologi belakangan ini juga cenderung unttuk menganggap psikologi sebagai ilmu yang mencoba mengkaji proses akal manusia dan segala manifestasinya yang mengatur perilaku manusia. Tujuan mengkaji akal ini adalah untuk menjelaskan, mempredisikan dan ,
Dalam perkembangannya psikologi telah terjadi menjadi beberapa aliran sesuai dengan paham filsafat yang dianut. Karena itulah dikenal adanya psikologi yang mentalistik, yang behavioristik dan yang kognitifisik.
Psikologi yang metalistik melahirkan aliran yang disebut psikologi kesadaran. Tujuan proses-proses akal manusia dengan cara mengitrospeksi atau mengkaji diri. Oleh karena itu, psikologi kesadaran lazim juga disebut psikologi introspeksionisme. Psikologi  ini merupakan suatu proses akal dengan cara melihat ke dalam diri sendiri setelah suatu rangsangan terjadi.
Psikologi yang behavioristik melahirkan aliran yang disebut psikologi perilaku. Tujuan utama psikologi perilaku ini adalah mencoba mengkaji perilaku manusia yang berupa reaksi apabila suatu rangsangan terjadi, dan selanjutnya bagaimana mengawasi dan mengontrol perilaku itu.
Psikologi kognifisik dan lazim disebut psikologi kognitif mencoba mengkaji proses-proses kognitif manusia secara ilmiah. Yang dimasud proses kognitif adalah proses-proses akal manusia yang bertangung jawab mengatur pengalaman dan perilaku manusia. Hal utama yang dikaji oleh psikologi kognitif adalah bagaimana cara manusia memperoleh, menafsirkan, mengatur, menyimpan, mengeluerkan dan menggunakan pengetahuannya termasuk perkembangan dan penggunakan pengetahuan bahasa.

B.       Psikologi Dalam Kritik Sastra
Kritik diabad kedua puluh ini telah mengalami perkembangan pesat, karena adanya sumbangan ilmu-ilmu kemasyaraktan dan psikologi. Kritik sastra yang semula dapat digolongkan menjadi dua pendekatan saja pendekatan formal dan pendekatan moral. Telah berkembang paling sedikit lima macam pendekatan; dengan tambahan tiga pendekatan baru yakni pendekatan psikologi, sosologi, mitos dan arketipe. Secra konseptual pendekatan mitos dan arketipe merupakan cabang dari pendekatan psikologi. Oleh karena itu, garis besarnya pendekatan baru yang membantu perkembangan kritik sastra dalam abad dua puluh ini, adalah psikologi dan sosiologi. Kedua pendekatan ini akan dibicarakan secara singkat agar gambaran tetang kritik sastra agak lengka.  
Munculnya pendekatan psikologi dalam kritik sastra disebabkan oleh meluasnya perkenalan-pekenalan sarjana sastra dengan ajaran Freud yang dimulai diterbitkan dalam bahasa Inggris, terutama the interprelation of drem, dalam menjelang decade perang dunia. Pembahasan sastra dilakukan sebagai eksperimen tehknik simbolisme mimpi, pengungkapan aliran kesadaran jiwa dan pengertian libido ala Freud menjadi semacam sumber dukungan terhadap pemberontakan sosial melawan puritanisme dan tata cara Viktorianisme. Diantara kritikus-kritkus sastra yang merintis dan mengajurkan pendekatan psikologi adalah I.A.Richrads, yang buku teorinya Principles of Literary Criticism. Merupakan buku pengarang penting di tahun dua puluhan. Richrads mencoba menghubungkan kritik sastra dengan uraian psikologi sematik. Yang sangat ditonjolkan adalah pengertian hakekat pengalaman sastra yang terpadu.
Bahasa kritik sastra ini mendukung pandangan bahwa kritik sastra sebagai objek estetik tidak mempunyai pengaruh sebab karya sastra tidak lain adalah sebuah pengalaman pribadi pembacanya. Selain itu, Richards menetang idealism estetik atau pendirian “ seni untuk seni” menekankan daya komunikasi karya seni. Nilai karya sastra baginya terletak pada kemampuan menjalin sikiap-sikap yang saling bertentangan secara berdaya hasil. Perdamain nilai-nilai yang berlawanan jelas dalam ironi yang merupakan dasar dari penilai poetic yang kemudian populer dikalangan kritikus sastra psikologi.
Psikologi memasuki biang kritik sastra lewat beberapa jalan: a. pembahasan tentang proses penciptaan sastra, b. pembahasan psikologi terhadap pengarangnya, c. pembicaraan tentang ajaran dan kaidah psikologi yang dapat ditimpa dari karya sastra, dan d. pengaruh karya sastra terhadap pembacanya. Pembahasan jenis pertama dan kedua dapat dimasukan kedalam psikologi kesenian. Tidak dapat dimungkiri pembahasan terhadap pribadi pengarang maupun proses penciptaan sastra itu memang menarik dan adanya menujukan manfaat pedagogik dalam studi sastra. Dalam hubungan ini, perlu diingatkan akan adanya bahaya sesatan genetik, yakni cenderung untuk meniliai karya sastra lewat proses dan orang yang melahirkan sastra tersebut. Dengan kata lain perlu diingatkan bahwa karya sastra bebas dan tidak tergantung pada proses penciptaan maupun penciptaanya sendiri.
Hubungan antara karya sastra dengan persona pengarangnya dipertegas oleh freud, yang memandang seorang penyair tidak lebih dari seorang pelamun yang lari dari kenyataan hidup. Baginya, kreativitas seorang pengarang tidak lain dari pelarian. Dengan bekal pengertian tersebut, dia lalu secara khusus berusaha menafsirkan sesuatu atau beberapa karya tertentu dari pengarang yang bersangkutan. Kedua seorang kritikus sastra dapat mempelajari secara teliti riwayat hidup seorang pengarang, seperti peristiwa-peristiwa penting dalam hidup dan catatan-catatan berbentuk surat menyurat, sebagai dokumen pribadi yang berisi macam-macam kenyakinan dan goresan pengakuan. Suatu teori tentang kepribadian pengarang yang bersangkutan: macam-macam pengarang batin, pertentangan jiwa, frustrasi, kekecewaan, harapan, pengalaman-pengalaman yang merawankan, dan neurosis. Teori kepribadian ini kemudian digunakan untuk menyoroti dan memahami beberapa karya tertentu dari pengarang yang bersangkutan.
Pembahasan sastra macam ini memang dapat membantu kita untuk menangkap bahwa jenis karya sastra tertentu merupakan hasil khayalan pengarang yang sedang mengalami keadaan jiwa tertentu. Akan tetapi perlu kiranya diingat bahwa bagaimanapun menariknya pembahasan ini tidak menunjukan adanya hubungan yang jelas dengan teori nilai, makna, atau kadar sastra. Dengan kata lain, orang tidak lebih mengetahui tentang dasar-dasar penentuan nilai sastra. Oleh karena itu, penentuan nilai karya sastra yang merupakan unsur pokok dalam pengertian kritik sastra, memang tidak dapat dilakukan. Pembahasan dan pengungkapan proses penciptaan orang menyimpulkan nilai, makna, atau kadar sastra, maka dia sudah terperosok ke dalam sesatan genetik dalam kerangka pemikirannya.
Pendekatan mitos dan arketipe dalam kritik sastra berpangkal pada psikologi Carl G. Jum, yang terbit dalam bahasa Inggris pada akhir tahun 1920-an dan awal 1930-an khususnya “On The Relation of  Analytical Psikology to Poetic Art”. Jum beranggapan bahwa beberapa sajak mempunyai daya tarik khusus menggetarkan hati pembacanya karena adanya rangsangan-rangsangan bahwa sadar pada jiwa pembaca. Rangsangan-rangsangan bahwa sadar ini disebut citra-citra dasar, atau citra keinsanan purba yang berbentuk lewat pengalaman nenek moyang kita dan diwariskan sebagai bawah sadar kelompok yang menjiwai untuk umat manusia dalam bentuk mitos, agama, mimpi, dan sastra.
Dari uraian diatas kiranya jelas bahwa pendekatan mitor dan arketipe dalam pembahasannya sastra hanya sesuai dengan karya-karya sastra baik yang puisi maupun yang prosa. Secara khusus dapat dikatakan bahwa pendekatan ini dapat menunjukan kegunaannya pada pembahasan karya sastra yang bernafaskan keagamaan yang cenderung menggunakan pencitraan apokaliptik, demonik, dan analogik.



C.      Keterkaitan Psikologi dan Kesustraan
Secara umum yang dimasudkan dengan istilah imajinasi adalah daya untuk membentuk imaji-imaji atau gamaran-gambaran atau kosep-kosep mental secara tidak langsung didapat dari sensasi atau penginderaan. Untuk perlu diuraikan agar lebih mudah memahami kembali bahwa imajinasi adalah suatu daya atau energy yang berkaitan langsung dengan manusia yang memiliki daya atau energy tersebut. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa hanya manusia yang memiliki daya itu, bukan makhluk hidup lainnya seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Dalam pemahaman tersebut, imajinasi mengadaikan pula ada imaji atau gambaran atau citra sebagai unsure utama yang sangat penting didalamnya. Dengan demikian proses pengimajinasian itu selalu merupakan proses pembentukan gambaran tertentu berlangsung secara kejiwaan. Artinya gambaran tersebut tidak berada secra visual atau tampak oleh mata atau tekstural atau teraba oleh tangan. Dengan begitu lebih jelas lagi bahwa istilah imajinasi diterapkan pada suatu proses kejiwaan dan bukan proses visual-jasmani yang dilakukan seketika itu juga oleh manusia. Juga kelak akan bahwa proses visual jasmani tertentu dapat diimajinasi meskipun imajinasi tidak sama dengan proses visual tersebut.
Masih menyangkut pengertian imajiansi diatas terkait pula pengertian proses kejiwaan, tidak hanya meliputi imaji atau citra atau gambaran melainkan kosep-konsep kejiwaan, untuk itu kosep kejiwaan ini tetap berkaitan dengan imaji atau citra atau gambaran tersebut. Kesalahpaman sering terjadi dalam istiah imajinasi dalam perbincangan sehari-hari. Penyamaan istilah imajinasi fantasi dalam kesadaran, ilusi dan khalayalan. Apabila seorang individu sering melamun kadang-kadang ia terlalu dikatakan berimajinasi.
Menurut J.A Cuddon dalam”The Penguin Dictionary of Literary Theory”(1991:442-443) bahwa dalam bahasa inggris ada berberapa variasi dari kata “imajinasi” yakni “ imagery”, dan “imaginary”, serta”imagine”. Imagery sesunguhnya berarti suatu figurtif untuk menghasilkan gambaran, citra, objek, perasaan, pemikiran, ide, atau pengalaman dalam pikiran pembaca atau pendengar. Dalam hal ini imaji tidak harus suatu lukisan kejiwaan atau metal.  


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Secara etimologi kata psikologi berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu psyche dan logos. Kata psyhe berarti “jiwa, roh, atau sukma”, sedangkan kata logos berarti “ilmu”. Jadi psikologi secara harfifah berarti” ilmu jiwa”, atau ilmu yang objek kajiannya adalah jiwa.
Kritik diabad kedua puluh ini telah mengalami perkembangan pesat, karena adanya sumbangan ilmu-ilmu kemasyaraktan dan psikologi. Kritik sastra yang semula dapat digolongkan menjadi dua pendekatan saja pendekatan formal dan pendekatan moral. Telah berkembang paling sedikit lima macam pendekatan; dengan tambahan tiga pendekatan baru yakni pendekatan psikologi, sosologi, mitos dan arketipe. Secra konseptual pendekatan mitos dan arketipe merupakan cabang dari pendekatan psikologi.
Imajinasi adalah daya untuk membentuk imaji-imaji atau gamaran-gambaran atau kosep-kosep mental secara tidak langsung didapat dari sensasi atau penginderaan. Untuk perlu diuraikan agar lebih mudah memahami kembali bahwa imajinasi adalah suatu daya atau energy yang berkaitan langsung dengan manusia yang memiliki daya atau energy tersebut.
Dalam pemahaman tersebut, imajinasi mengadaikan pula ada imaji atau gambaran atau citra sebagai unsure utama yang sangat penting didalamnya. Dengan demikian proses pengimajinasian itu selalu merupakan proses pembentukan gambaran tertentu berlangsung secara kejiwaan. Artinya gambaran tersebut tidak berada secra visual atau tampak oleh mata atau tekstural atau teraba oleh tangan. Dengan begitu lebih jelas lagi bahwa istilah imajinasi diterapkan pada suatu proses kejiwaan dan bukan proses visual-jasmani yang dilakukan seketika itu juga oleh manusia. Juga kelak akan bahwa proses visual jasmani tertentu dapat diimajinasi meskipun imajinasi tidak sama dengan proses visual tersebut.



B.       Saran
Dengan kita mengetahui sebuah karya sastra apakah karya sastra yang kita nikmati sudah mengenai hati kita sebagai pembaca. Secara umum pembaca dapat juga mengkritik akan sastra yang dinikmatinya. Akan tetapi dalam mengkritik tidak secara lengkap hanya mengkritik sebagian dari bentuk dan isinya saja. Oleh karena itu, dengan adanya kritik sastra kita tahu seberapa jauh karya sastra tersebut memiliki nilai yang tinggi.
















DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineke Cipta.
Hardjana, Andre. 1991. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hanum, Zulfa. 2005. Psikologi Kesusasteraan. Depok: Inti Prima Grapich.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar